ChanelMuslim.com- Mungkin tidak heran jika muslim Rohingya terusir dari negeri mereka di Myanmar, karena mereka minoritas. Tidak heran juga jika muslim Moro Filipina terus hidup dalam tekanan, juga karena mereka minoritas. Juga tidak heran jika muslim Eropa dibayang-bayangi teror, lagi-lagi karena mereka minoritas. Yang mengherankan, Islam justru dicurigai di negeri mayoritas.
Kisah ini bukan terjadi di negeri nan jauh di pelosok bumi. Tapi terus berlangsung di depan mata kita sendiri. Ya di negeri muslim terbesar dunia.
Selama tiga setengah abad, umat Islam di negeri ini berpengalaman hidup dalam teror penjajah: Portugis, Belanda, Jepang, dan sekutu. Bukan cerita baru jika penjajah kerap membidik senjata mereka ke masjid, musholah, pesantren, dan para tokoh ulama.
Untuk mendapat dukungan dunia, penjajah menyebut pejuang Islam ini dengan sebutan ekstrimis. Julukan yang menstigma kaum ulama dan murid-muridnya ini sebagai kaum pemberontak, pembuat onar. Sehingga mereka pun pantas untuk dibasmi.
Hal itulah yang tercatat dalam sejarah, seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Batavia, Bandung, Surabaya, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Sebuah rangkaian perjuangan yang memunculkan seribu satu orang-orang hebat yang dikenang sejarah.
Begitu pun di masa Orde Lama ketika PKI mulai berpengaruh di rezim saat itu. Dengan tuduhan fundamentalis yang berbahaya, partai terbesar Masyumi dibubarkan. Para pemimpinnya dipersekusi. Sejumlah tokoh-tokoh ulama di berbagai pesantren di Pulau Jawa pun tidak luput dari buruan kaum komunis. Dan untuk kali ini, persekusinya lebih mengerikan.
Orde Baru punya gaya persekusi lain untuk Islam dan umatnya. Mereka disebut sebagai kaum fundamentalis berbahaya. Cap mereka ditempelkan dengan bayang-bayang mengerikan DI/TI yang mengalalkan segala cara untuk meruntuhkan negara dan Pancasila.
Semua yang berlabel Islam: pengajian anak muda, jilbab, tablig akbar, bahkan organisasi pelajar dan kemahasiswaan disebut sebagai penganut aliran berbahaya yang diilhami kaum kanan. Lagi-lagi tuduhannya klise: menghancurkan negara dan mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Jadilah saat itu remaja-remaja muslimah yang berjilbab seperti main kucing-kucingan dengan kepala sekolah di sekolah mereka. Ketika pimpinan sekolah tak hadir, mereka mengenakan jilbab. Tapi ketika ada, mereka pun terpaksa melepas busana penutup aurat yang menjadi bagian dari syariat Islam ini.
Untuk skup sekolah ini, tuduhannya sederhana. Mereka disebut sebagai aliran berjilbab. Mereka juga dianggap melanggar tatib sekolah tentang busana nasional yang telah ditentukan. Bahwa, jilbab bukan busana yang pantas untuk pelajar di Indonesia. Busana itu seolah hanya pantas di Arab sana.
Kisah heroik di tahun 80-an tentang remaja puteri berjilbab ini pun mencuat ke media massa saat itu. Demi mempertahankan busana syar’i mereka, generasi muda bangsa ini rela keluar dari sekolah mereka. Hal itu sesuai dengan tawaran sekolah: kalau mau tetap di sini, silakan lepas jilbab. Kalau tetap berjilbab, silakan keluar. Cari sekolah lain.
Penataran P4: Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila pun seperti agama baru yang begitu digencarkan. Ia menjadi wajib untuk semua kalangan. Mulai dari calon pejabat, pegawai, mahasiswa, hingga anak-anak sekolah dasar.
Isinya begitu menyesatkan. Siapa pun yang ingin diakui sebagai warga Indonesia, harus berideologi, berperilaku, berbusana, berbudaya, dan lainnya dengan khas Indonesia. Bukan dari luar termasuk Arab. Dan Islam mereka masukkan sebagai budaya dan perilaku orang Arab. Padahal Nabi saw. butuh waktu 23 tahun untuk mengislamkan orang Arab.
Indonesia, menurut penatar P4 ini, adalah Indonesia. Dan Islam bukan khas Indonesia. Yang khas Indonesia adalah kerajaan-kerajaan primitif tempo dulu, seperti Majapahit, Sriwijaya, Tarumanegara, dan lainnya. Generasi bangsa yang sedang ingin melangkah maju ini seperti dipaksa mundur ke era purbakala.
Sementara rezim saat itu begitu asyik menikmati kekayaan negara untuk kroni mereka. Mereka bagi-bagi kekayaan negara seperti harta warisan yang dibagikan kepada istri, anak, dan cucu mereka. Benar-benar rezim jahiliyah di masa moderen.
Era reformasi pun datang. Semangat baru pun memberikan harapan. Perubahan demi perubahan dilakukan agar pemimpin negara bukan lagi sebagai tuan tak ubahnya seperti raja yang menuntut pelayanan. Melainkan sebagai pelayan untuk rakyatnya menuju keadilan dan kemakmuran.
Pancasila pun diposisikan secara tepat sebagai kesepakatan bangsa untuk tetap bersatu dan berdaulat dalam kebhinekaan. Bukan seperti agama baru yang menihilkan agama apa pun di negeri ini, terutama Islam.
Reformasi memberikan angin segar bagi tumbuhkembangnya putera-puteri bangsa untuk berkiprah. Tak ada lagi kroni dan supremasi kelompok. Tak ada lagi warga kelas atas yang tak bisa disentuh hukum dan keadilan. Siapa pun berada dalam kedudukan yang sama di mata hukum dan keadilan.
Sayangnya, kaki tangan penjajah negeri ini masih teramat kuat mencengkeram. Pelan tapi pasti, mereka gerogoti idelisme bangsa ini menjadi serpihan-serpihan kecil yang saling berbenturan. Adu domba berbagai kekuatan pun terjadi. Ujung-ujungnya, kekuatan reformasi menjadi bonsai yang terus mengalami degradasi menyisakan nama dan bungkus luar saja.
Supremasi hukum dan kekuatan sipil pun pelan tapi pasti menuju kepunahan. Rezim boleh berganti, idealisme silakan menyala, tapi negara tidak lagi menjadi milik rakyatnya.
Mulailah reformasi kehilangan arahnya. Setan-setan yang pernah dianggap mati seiring datangnya era reformasi pun mulai melakukan reinkarnasi. Sasaran utama mereka satu: pelemahan kekuatan Islam dan umatnya.
Tuduhan pun diolah sedemikian rupa persis seperti masa lalu di rezim Orla dan Orba. Bahwa, Islam ajaran asing yang bukan khas Indonesia. Ajaran yang menakutkan. Ajaran yang memecah belah bangsa. Ajaran radikal yang tak sejalan dengan budaya Indonesia. Ajaran fundamentalis yang menghalalkan segala cara.
Karena itulah, agama ini harus terus digaungkan sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Agama ini tidak boleh tumbuh besar. Tidak boleh menelurkan kader-kader hebat yang akan mengendalikan negara. Tidak boleh wujud sebagai agama paripurna.
Agama ini harus tetap bonsai. Silakan tumbuh akar, tapi akar yang mungil dan gampang dicabut. Silakan tumbuh dahan, tapi dahan yang ringkih dan mudah dipatahkan. Silakan tumbuh daun, tapi daun kecil-kecil yang enak dipandang tapi miniatur dalam ukuran.
Jadikan Islam sebagai agama yang pantas hidup dalam ruang-ruang sempit masjid dan mushola. Agama yang boleh mengatur soal aqiqah, khitan, nikah, dan cerai. Jadikan tokoh-tokohnya sebagai sosok yang lembut dan mengharamkan politik, agar mudah diatur, dan dikerangkeng dalam idealisme sempit mazhab fikih.
Silakan mereka memperdebatkan boleh tidaknya makan kodok. Silakan mereka berseminar tentang najis dan makanan subhat. Silakan mereka berdiskusi tentang haji, umroh, ziarah, dan karomah.
Tapi, jangan berikan peluang mereka menyadari gelar Alquran sebagai khairu ummah. Jangan pernah berikan ruang kesadaran bahwa Alquran sebagai petunjuk hidup hakiki. Munculkan konflik dalam barisan umat Islam. Tiupkan terus perbedaan dan fanatisme kelompok.
Lupakan mereka bahwa bangsa ini besar. Lupakan mereka bahwa negara ini sangat kaya. Lupakan mereka bahwa generasi bangsa ini cerdas dan hebat. Giring mereka agar membenci agamanya sendiri. Dan sangat diharapkan, mereka menanggalkan keislaman secara sempurna, baik dalam status maupun nilai.
Namun, setan-setan itu lupa bahwa Islam bukan milik Nabi Muhammad. Islam bukan milik mayoritas orang Indonesia. Bukan juga milik orang Arab. Tapi Islam milik Pencipta alam raya ini. Dia Maha segalanya.
Silakan setan-setan membuat skenario untuk melumpuhkan agama ini, dan bangsa ini agar hancur sehancur-hancurnya. Tapi Yang Maha Kuat, juga membuat skenario agar setan-setan ini terkubur dalam mimpinya. (Mh)