BEBEK itu tak bisa berpikir jernih. Ia bergerak mengikuti syahwat rombongannya. Tak peduli apa yang telah ia injak-injak.
Seorang presiden, terlebih lagi presiden dari negara adikuasa, sejatinya mengedepankan nilai kemanusiaan, persatuan dunia, kemakmuran, dan perdamaian.
Pertanyaannya, bagaimana jika warga negara adikuasa itu salah pilih. Yang mereka pilih justru Si Donald Bebek. Seperti apa kekacauan yang akan ditimbulkannya?
Dunia baginya, tak lebih hanya seperti ‘makanan’ yang bisa disosor. Selama bisa ia paksakan, kenapa tak ia lakukan. Terserah apa kata dunia.
Ia tak peduli dengan bibit-bibit tanaman hijau yang sedang tumbuh. Tak peduli dengan aliran mata air jernih yang menghidupi banyak orang. Semua ia injak-injak. Demi bisa memenuhi syahwat perutnya.
“Donald…Donald! Bagaimana mungkin negeri orang dianggap seperti rumah petakan. Yang siapa bisa bayar, bisa tinggal. Yang nggak bisa bayar, silakan keluar!”
Yang namanya bebek memang pikirannya dangkal. Yang dipentingkan hanya kawanannya saja agar bisa terus makan, sementara yang hidup di sekitarnya dianggapnya sekadar figuran.
Susah memang mengajarkan cara hidup yang bermartabat untuk kawanan bebek. Mereka hanya bisa mau diatur dengan kayu gebukan.
“Donald bebek…Donald bebek!” Anda benar-benar telah mempermalukan negara besar Anda: negara paman gober yang sedang di tepian jurang kehancuran total. [Mh]