ChanelMuslim.com – Di Balik Fenomena HRS dan UAS
Banyak kalangan masih menyimpan tanda tanya di balik fenomena banjir massa di sosok Habib Rizieq Shihab (HRS). Begitu pun dengan sosok Ustaz Abdul Somad (UAS) yang di mana pun ia tampil, nyaris tak ada tempat kosong untuk yang hadir. Ada apa?
Siapa pun terperangah dengan kemunculan banjir massa di kehadiran HRS. Mulai saat tiba di bandara, acara Maulid di Tebet dan Megamendung, dan juga di Petamburan Jakarta. Padahal di sana tak ada bagi-bagi sembako, penampilan artis, pesta makan, dan lainnya.
Baca Juga: Fenomena Hujan Lokal di Atas Satu Mobil
Di Balik Fenomena HRS dan UAS
Sebelumnya, sosok UAS pun sempat mempesona banyak kalangan. Lagi-lagi, karena massa yang begitu fenomenal. Di mana pun UAS tampil, massa sudah membludak beberapa jam sebelum acara dimulai.
Sayangnya, tidak ada riset yang lebih serius untuk menyibak rahasia di balik ini. Padahal, hal itu sangat penting terutama dari sudut pandang masa depan politik Islam di Indonesia. Karena sejak merdeka, Indonesia belum pernah dipimpin oleh tokoh Islam sebagai pemimpin yang berkuasa, kecuali KH Abdurrahman Wahid yang pernah memimpin sekitar 2 tahunan. Padahal, dari segi jumlah, umat Islam tetap mayoritas.
Untuk menyibak ini, secara sederhana bisa ditilik dari sudut pandang sejarah pergerakan umat Islam di negeri ini. Jika dirunut dari lahirnya organisasi massa Islam besar, tak dipungkiri adanya kesan pengelompokan. Ketika Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912, dan PERSIS pada tahun 1923; NU pun berdiri pada tahun 1926.
Runutan ini, jika ditilik dari aliran massa, tidak terlepas dari pengaruh mazhab keagamaan yang melatarbelakangi ormas-ormas besar itu. Runutan tahun itu, seolah memperlihatkan adanya kegelisahan antar aliran massa keagamaan Islam untuk saling bersaing dan eksistensi pengelompokan.
Pendek kata, ormas-ormas itu seolah menunjukkan bahwa PERSIS berdiri karena adanya Muhammadiyah, dan NU berdiri karena adanya Muhammadiyah dan PERSIS. Dan seterusnya. Bukan hal baru jika dipahami bahwa masing-masing ormas tersebut memiliki kekhasan aliran mazhab keagamaan.
Boleh jadi, apa yang telah dilakukan para tokoh Islam yang tidak lain para ulama itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk memunculkan terjadinya pengelompokan umat yang berujung pada pelemahan kekuatan. Karena pendirian ormas itu lebih ditujukan untuk sarana dakwah dan gerakan sosial keagamaan.
Paradigma positif itu memang terbukti dengan berdirinya partai Islam pertama di negeri ini, Masyumi, atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Di Masyumi itu, bergabung semua ormas Islam dengan aneka mazhabnya: Muhammadiyah, NU, PERSIS, dan lainnya. Hasilnya, Masyumi menjadi sosok partai Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah sebagai kekuatan politik paling besar dan kuat.
Hal itu sangat menakutkan pihak-pihak anti Islam dalam dan luar negeri. Pada tahun 1960, dengan berbagai tuduhan dan fitnah, pemerintah Orde Lama membubarkan Masyumi. Sejak itulah, kekuatan umat Islam kembali kepada kelompok-kelompok mazhab keagamaan masing-masing.
Setelah sekian puluh tahun beku, para tokoh ormas-ormas Islam ini pun merindukan kiprah politik mereka di panggung kekuasaan. Terutama setelah lahirnya era reformasi yang memungkinkan semua kelompok masyarakat untuk mendirikan partai politik.
Partai-partai Islam pun bermunculan. Masing-masing mencirikan latar belakang ormas yang menjadi rumah besar mereka. Ada PKB, PNU, dan lainnya yang merupakan bagian dari rumah besar NU. Ada PAN yang merupakan bagian dari rumah besar Muhammadiyah. Kecuali PKS yang tidak berasal dari dua ormas besar tersebut. Atau PPP yang memang sudah ada sejak masa Orde Baru.
Namun, semua partai Islam itu terkelompokkan dari aliran keagamaan di mana ormas itu bersumber. Atau, mencirikan satu aliran keagamaan Islam yang melekat dalam sosio kultural mereka.
Secara sederhana, masyarakat memahami bahwa kalau yang melazimkan Maulid dan Tahlilan maka mereka memilih PPP atau PKB. Kalau yang di luar itu, mereka memilih PAN atau PKS. Sedikit sekali massa yang memilih partai Islam secara nalar, bukan mazhab keagamaan tadi.
Walaupun, ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU menjelaskan bahwa mereka tidak berpolitik praktis. Namun, tak dipungkiri para tokohnya seperti berada di kekuatan partai tertentu dengan ciri khas itu.
Inilah di antara sebab yang bisa menjelaskan secara sederhana kenapa kekuatan Islam maupun tokoh Islam tidak bisa tampil sebagai mayoritas atau berhasil menjadi pemimpin bangsa. Kecuali, Presiden Abdurrahman Wahid yang tampil sebagai wujud dari simbol Masyumi secara substantif dari koalisi Poros Tengah di masa awal reformasi. Setelah itu, tidak ada. Dan itu pun terjadi di masa pemilihan presiden tidak langsung oleh rakyat.
Kembali ke sosok UAS dan HRS. Dua sosok ini secara ciri keagamaan berada di semua lintas ormas Islam. Dari segi mazhab keagamaan, keduanya sama dengan NU. Dan dari segi pemikiran, keduanya sama dengan Muhammadiyah atau para aktivis Islam yang berlatar belakang santri moderen.
Dengan kata lain, fenomena UAS dan HRS mencerminkan kerinduan umat Islam Indonesia tampilnya kekuatan baru Islam yang tidak terkotak-kotak pada mazhab keagamaan. Kekuatan yang bisa mewakili semua mazhab ormas Islam di negeri ini. Kekuatan yang secara ideologis menjadi pengikat, bukan kepentingan pragmatis kekuasaan yang berorientasi jangka pendek. (Mh)