ChanelMuslim.com – Zaman Covid ini membelah masyarakat menjadi dua kelompok besar. Ada yang begitu ketat dan super waspada. Ada yang biasa saja, bahkan nyaris seperti menganggap tidak pernah ada.
Inilah fenomena yang tengah terjadi di masyarakat kita. Bukan hanya di dalam negeri, di luar pun sama. Ada begitu ketat menerapkan protokol kesehatan, ada yang menganggapnya biasa saja. Dua kelompok ini memang muncul bukan karena hasil diskusi. Bukan juga karena cetusan organisasi. Melainkan, muncul secara alami sebagai reaksi yang beragam tentang zaman pandemi.
Masalahnya, mana di antara dua kelompok ini yang relatif lebih “survive”? Istilah survive berarti hidup nyaman, selamat, dan bahagia; meski di saat pandemi.
Secara teoritis, jawabannya adalah mereka yang begitu ketat menerapkan protokol kesehatan. Secara teoritis pula, mereka yang sangat hati-hati akan terhindar dari serangan penyakit. Benarkah?
Secara umum, jawaban tadi memang dibenarkan oleh siapa pun. Bahwa kalau mau tetap sehat, selalu jaga kesehatan semaksimal mungkin.
Namun, persoalannya menjadi lain ketika diterapkan dalam zaman pandemi. Di mana, krisisnya bukan sekadar soal kesehatan dan penyakit. Melainkan juga, merambat pada krisis lain seperti ekonomi, hubungan sosial antar sesama, bahkan pada soal akidah atau keyakinan keagamaan.
Bagaimana mungkin bisa begitu? Pandemi saat ini tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Padahal, munculnya sudah hampir satu tahun lalu. Pandemi juga merontokkan peluang kerja. Banyak warga yang kena PHK, susah mencari uang, dan lainnya. Pandemi juga membuat jarak antar sosial pergaulan menjadi kian renggang. Yang semula disengaja sebagai upaya menghindar penularan, kini menjadi kebablasan hingga tak ada lagi hubungan harmonis dengan kerabat, tetangga, dan sesama anggota masyarakat.
Bagi yang sekolah dan kuliah, pandemi membuat mereka terasa kian jauh dari sukses belajar. Belum lagi tekanan dari orang tua yang bisa memunculkan stress. Bahkan, terjadinya kekerasan fisik.
Di sinilah ekses itu muncul. Bahwa, orang yang begitu ketat menerapkan protokol kesehatan seperti berada dalam kepungan musuh yang sewaktu-waktu bisa menyerang dari arah yang tak terduga. Serangannya bukan sekadar pada hal kesehatan itu sendiri. Melainkan juga pada tersisihnya dari lingkungan pergaulan, hilangnya kesempatan kerja, dan keringnya jiwa dari sentuhan keakraban antar sesama.
Ekses lain yang tidak kalah berat adalah mereka yang super ketat prokes selalu update dengan info-info terbaru tentang covid. Sayangnya, info-info itu tidak menuju pada kabar yang menenangkan. Sebaliknya, kian hari, info-info tersebut kian mengungkung hati dan pikiran bahwa harapan dunia ini seperti sudah selesai.
Contoh, menyimak info vaksin, tergambar ada isu dampak bahayanya. Setiap hari, selalu diberitakan orang mati yang disebabkan karena covid. Bahwa, penularannya sudah sangat membahayakan. Masker pun harus berlapis-lapis. Obatnya belum ada. Dan seterusnya.
Apa yang dihasilkan dari super ketat prokes dan update info tentang Covid ini? Hasilnya kian tertuju pada satu titik: pasrah, kita sangat lemah terhadap Covid. Mungkin bagi orang ini, batuk dan demam jauh lebih menakutkan dari penyakit apa pun. Untuk dirinya, terlebih lagi hal itu keluar dari orang lain di dekatnya.
Faktanya, hampir semua orang kaya, orang pintar, pejabat; mengalami penularan. Setidaknya, mengalami ketakutan yang luar biasa dengan Covid walaupun belum tertular.
Namun, pemandangan yang berbeda begitu kontras terlihat di kelompok yang biasa saja dengan Covid. Mereka merasa biasa saja karena beberapa sebab. Pertama, karena tidak tahu banyak dan tidak mau tahu tentang Covid. Kedua, karena desakan ekonomi yang menjadikan mereka lebih fokus pada penghasilan daripada kesehatan. Ketiga, karena keseharian mereka memang tidak merasa perlu memperhatikan kesehatan. Dan terakhir, mungkin karena kekuatan keyakinan. Dan yang terakhir ini sangat minim di kelompok itu.
Bagi mereka, Covid itu berbeda dengan DBD atau malaria. DBD dan malaria begitu terlihat penyebabnya. Tapi Covid, penyebabnya virus yang tak pernah terlihat dan susah dirasakan keberadaannya. Karena tidak terlihat dan terasa, rasa kekhawatirannya berangsur lenyap seiring tuntutan hidup.
Apakah kelompok ini menjadi korban yang paling rentan dengan Covid? Mungkin saja. Tapi bedanya dengan kelompok pertama, kelompok ini tidak begitu terpengaruh dengan isu besar pandemi. Kalaupun mereka tertular, jarang ditemukan gejala berat. Mereka terinfeksi tanpa gejala. Setelah itu? Sehat lagi seperti semula.
Mereka tidak pernah berada dalam bayang-bayang mahalnya masuk rumah sakit. Kalau flu dan batuk, cukup minum empon-empon dan berjemur di matahari. Mereka tidak pernah dihantui kematian karena Covid. Karena sehari-hari mereka sudah cukup dihantui kemiskinan. Dan hantu ini, bagi mereka, jauh lebih menakutkan dari virus apa pun.
Mereka pun hidup normal selayaknya tidak ada pandemi. Seperti, ngobrol santai dengan kerabat dan tetangga. Siang dan malam. Masker bagi mereka, bukan karena takut tertular. Tapi karena takut kena razia dan denda.
Selama pandemi, mereka pun tidak pernah ikutan tes ini dan itu. Jadi, jangankan merasa perlu dengan vaksin, merasa takut tertular saja tidak pernah.
Namun menariknya, justru di kelompok inilah Covid menjadi terlihat lemah. Tak ubahnya seperti penyakit flu biasa saja. Satu atau dua hari flu dan batuk, dan esoknya sembuh seperti semula. Tanpa harus ke rumah sakit dan dalam kungkungan bayang-bayang kematian.
Perhatikan kelompok ini di pasar-pasar tradisional. Para sopir bus dan angkot. Tukang-tukang ojek. Sebagian besar masyarkat di perkampungan, baik kota besar maupun daerah pedalaman.
Bagaimana kalau sakit dan mati? Bagi mereka, mati tidak ada hubungannya dengan sakit. Karena mati merupakan ajal yang sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. (Mh)