ChanelMuslim.com- Awal pekan ini bergulir dengan awalan yang kurang mengenakkan, khususnya untuk UAS dan para dai pada umumnya. Bagaimana mungkin sebuah pengajian di masjid bisa dipolisikan, dan tuduhannya tidak main-main: penistaan agama.
Hal ini sangat bertolak belakang antara yang dilakukan dengan dampak yang muncul. Di mana pun, pengajian, atau kegiatan keagamaan lain; tentu bermuatan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia. Bukan sebaliknya, perusakan dan penistaan.
Koridornya jelas, sebagaimana termaktub dalam undang-undang. Bahwa, negara memberikan kebebasan warganya untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Termasuk tentunya, kegiatan pengajian.
Koridor teknis yang bisa dibilang sebagai kesepakatan bersama adalah selama dilakukan untuk internal umat dan di tempat yang tertutup seperti masjid, gereja, dan lainnya; para dai, pendeta, dan lainnya bisa menyampaikan ajaran yang sesuai tuntunan agama masing-masing.
Silakan para dai, dalam pengajian, khutbah, ceramah, dan semisalnya, menyampaikan ajaran agama sesuai hukum agama yang berlaku. Begitu pun kegiatan agama lain dengan hak dan kewajiban yang sama.
Jadi, jangan benturkan antara ajaran agama dengan aturan hukum yang berlaku di negara. Tidak bisa keluar aturan yang menyatakan: para dai dalam pengajian, khutbah, ceramahnya tidak boleh menyinggung atau mengecilkan ajaran agama lain.
Karena, selama dalam kegiatan internal keagamaan, tidak ada satu pun dai, khatib, penceramah, ustaz, atau pendeta dan lainnya yang bermaksud untuk menistakan agama lain dengan maksud permusuhan.
Kalaupun mereka menyampaikan tentang agama lain, semata-mata bagian dari arahan kitab suci atau dalil hukum agama yang jelas. Dan itu dimaksudkan untuk mengokohkan iman masing-masing umat. Bukan memprovokasi umat lain dengan memperlihatkan keburukannya.
Outputnya bisa dilihat. Sudah ratusan tahun ada pengajian dan kebaktian di gereja dan kegiatan agama lain di Indonesia, tapi tidak ada benturan umat ketika mereka keluar dari masjid, gereja, atau lainnya. Padahal, lokasi antara masjid dan gereja mungkin terletak bersebelahan. Karena umat paham betul bahwa yang dimaksudkan adalah individu itu untuk benar-benar beriman dengan keyakinan agama masing-masing. Bukan untuk dibenturkan dengan agama lain.
Jadi, jangan coba-coba mempermasalahkan dai, khatib, ustaz, atau pendeta dan lainnya tentang bagaimana mereka menjelaskan ajaran kitab suci agama masing-masing. Karena ketika negara apalagi sampai agama lain ikut turut campur dengan kegiatan internal agama akan terjadi kekacauan besar.
Para penegak hukum boleh jadi dituntut untuk bisa lebih cerdas mencermati masalah ini. Apa yang terjadi dengan kasus UAS, mungkin bukan ucapan UASnya yang harus dipermasalahkan. Karena hal itu memang bagian dari ajaran agama Islam, dan disampaikan di internal umat.
Boleh jadi, kasusnya justru pada penyebaran video yang akhirnya menjadi konsumsi publik luas. Jika ini yang menjadi masalah, pelanggaran hukumnya akan semakin terang. Yaitu, siapa yang menyebarkan, memviralkan video pengajian UAS di sebuah pengajian di masjid.
Kalau salah bertindak akan membingungkan penegak hukum sendiri. Jika UAS yang disangkakan, maka UAS akan menjelaskan bahwa hal itu ia sampaikan menurut firman Allah surah sekian ayat sekian. Juga, menurut hadis Rasulullah nomor sekian dan sekian.
Lalu, apakah selanjutnya kitab suci akan dikriminalkan karena dianggap menistakan agama lain?
Atau, jika UAS disangkakan, maka akan muncul sekian banyak peserta pengajian atau kebaktian susupan yang sengaja untuk memvideokan ustaz atau pendeta untuk kemudian diviralkan dan dipolisikan.
Hukum dan kecerdasan memang tidak bisa dipisahkan. Kecerdasan adalah dasar dari kebijaksanaan (hakim), dan kebijaksanaan satu akar kata dengan hukum. (Mh)