Oleh: Sapto Waluyo
(Center for Indonesian Reform)
Konstelasi politik menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta semakin jelas. Sejumlah partai politik berkumpul untuk membentuk Koalisi Kekeluargaan (8/8/2016). Dipelopori oleh PDIP sebagai partai pemenang Pilkada DKI tahun 2012. Diikuti oleh partai papan atas dan menengah di Ibukota, yakni Gerindra, PKS, Demokrat, PPP, PKB, dan PAN. Belum dibahas, siapa kandidat yang akan diusung koalisi, namun nama Tri Rismaharini mulai nyaring terdengar akan dipasangkan dengan Sandiaga Shalahuddin Uno.
Sebelumnya, Gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah mendapat dukungan partai Hanura, Nasdem dan Golkar. Ahok rencana menggandeng Heru Budi Hartono (Kepala BPKAD DKI Jakarta) sebagai Cawagub, tapi tentu harus dengan persetujuan partai pendukung. Hanura dan Golkar sebagai pendukung terbesar boleh jadi memiliki calon Wagub sendiri, karena posisinya sekarang semakin menentukan. Atau, Ahok punya pandangan berbeda setelah melihat perubahan konstelasi politik.
Skenario Pilkada DKI Jakarta masih sangat terbuka hingga detik-detik terakhir pengajuan calon dari partai politik pada pertengahan September. Setelah pendaftaran calon perseorangan ditutup dan tidak ada kandidat perorangan satupun yang lolos, maka posisi Ahok semakin terjepit. Dulu, Ahok bisa mengendalikan sepenuhnya arah politik dengan modal 1 juta KTP pendukung Teman Ahok, partai politik pun dibuat tidak bernyali. Tetapi sekarang, Ahok justru bergantung pada sikap partai pendukungnya yang notabene merupakan koalisi minoritas dan belum bernama resmi. Pengamat menyebut pendukung Ahok dari keluarga besar beringin karena ketiga partai itu berasal dari rahim Golkar.
Skenario Pilkada Jakarta akan berlangsung seru bila dua pasang kandidat yang tampil (head to head). Cagub petahana dengan koalisi pendukungnya (mungkin mengusung pasangan Ahok-Heru) berhadapan dengan kadidat yang diusung koalisi penantang: Risma-Sandi. Komposisi itu belum final sebab Ahok bisa membuat kejutan dengan merangkul Cawagub yang dapat menambah kekuatan koalisinya. Siapakah sosok itu?
Sejumlah pengamat melihat figur potensial Dr. H. Saefullah yang saat ini menjabat Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta. Berbeda dengan Heru, Saefullah punya modal politik, terlihat dekat dengan pimpinan PKB dan PPP karena latar belakangnya sebagai Ketua PW Nahdlatul Ulama. Selain itu, Saefullah mengantongi modal sosial yang sangat besar selaku putra asli Betawi. Hal itu, terbukti saat perayaan Lebaran Pendekar Betawi di Bunderan HI pada 7 Agustus 2016. Ribuan anggota perguruan silat dan pendekar mendaulat Saefullah sebagai Pembina Asosiasi Silat Tradisi Betawi (ASTRABI) yang baru dibentuk. Anggota ASTRABI adalah 50 perguruan silat di kawasan Jabodetabek, sebuah mesin sosial yang berdampak politik lokal.
Pada tahun 2015, sesungguhnya Ahok sempat melirik Saefullah sebagai calon pendampingnya. Tapi, Saefullah bersikap netral/profesional sebagai birokrat dan menyerap aspirasi warga, berbeda dengan Heru yang mengekor saja apa kemauan bosnya. Akibatnya, Ahok melucuti otoritas Saefullah selaku Sekda dan mengambil putusan strategis sendiri. Ahok kini harus menanggung akibat dari sikap politik yang ditempuhnya sendiri, ruang geraknya menjadi lebih terbatas. Sedangkan, posisi Saefullah yang telah teruji selama 30 tahun sebagai birokrat karir, semakin menentukan. Jika Ahok tetap berpasangan dengan Heru, maka elektabilitasnya tetap stagnan, bahkan cenderung menurun. Dengan menggaet Heru, semula Ahok berniat merangkul pemilih dari etnik Jawa yang mayoritas di Jakarta, namun upaya itu tampak gagal. Partai-partai politik pendukungnya kini mulai bersikap realistis mencermati dinamika lapangan.
Bila Ahok tidak membuat kejutan, maka PDIP yang mungkin melakukan terobosan. Ditariknya Walikota Surabaya Risma dalam percaturan pilkada Jakarta akan memanaskan pasar politik. Ahok bertemu dengan penantang yang seimbang. Sebelumnya, nama Ridwan Kamil (Walikota Bandung) sempat mencuat beberapa bulan lalu. Entah mengapa, Ridwan mundur setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Ahok beruntung mendapat beking utama orang nomor satu di Indonesia, namun PDIP bisa mengubah arah kompetisi bila benar-benar mengajukan Risma sebagai Cagub. Jika PDIP akhirnya maju bersama Koalisi Kekeluargaan mengusung Risma-Sandi, maka kekuatan nasionalis-relijius dan modernis-tradisionalis telah bersatu. Padahal, selama ini kedua kubu itu seringkali berhadap-hadapan dalam kompetisi politik. Tinggallah Ahok sendirian bersama kekuatan nasionalis-pragmatis.
Bagaimana strategi Ahok untuk memecah koalisi mayoritas dengan kandidat yang semakin mempesona publik itu? Ahok masih mungkin merangkul PDIP dengan mendekati langsung Megawati Soekarnoputeri selaku Ketua Umum PDIP. Ahok bisa saja mempertahankan duetnya bersama Djarot Saiful Hidayat. Tapi perang mulut Ahok versus Risma telah memperkecil kemungkinan duet itu. Jika ingin nekad, Ahok bersedia menjadi Cawagub dari Risma sebagai tanda pertobatan politiknya. Aksi gila itu mungkin tak terbayangkan oleh siapapun, tapi siapa bilang Ahok selama ini berperilaku politik normal? Demi kemenangan politik, langkah apapun akan diambil petahana. Persoalannya sekarang ada di tangan Ketum PDIP: apakah akan menarik Risma ke Jakarta dengan resiko mencari tokoh baru untuk pilkada Jawa Timur tahun 2018? Ataukah, mengajukan Djarot dengan resiko kekalahan di pilkada Jakarta?
Bagi kader dan pengurus PDIP di Jakarta, berkoalisi dengan Ahok bukan pilihan ideal. Dalam konsolidasi yang dipimpin langsung Ketua PDIP Bambang DH, para kader banteng meneriakkan yel-yel: “Satu padu untuk menang, Gotong-royong untuk menang, Berjuanglah untuk menang, Ahok pasti tumbang”. Nama Ahok disebut secara spesifik sebagai ekspresi kekesalan dan kekecewaan.
Tindakan paling rasional-kalkulatif adalah Ahok merangkul Cawagub yang akan mengurangi kekuatan koalisi mayoritas. Pilihannya ada pada Saefullah yang sangat dekat dengan kalangan Muslim tradisionalis (PKB dan PPP) dan juga Muslim modernis (PAN dan PKS). Meski dibatasi ruang geraknya oleh Ahok, ternyata Saefullah tetap bisa bekerja sesuai tupoksi dan berinteraksi dengan basis sosial pendukungnya. Anak Betawi asal Kampung Rorotan, Jakarta Utara itu merintis karir sebagai Guru (1993), Pengawas sekolah (1999), Kepala Seksi (2000), Wakil Kepala Dinas Pendidikan (2008) dan selanjutnya menjadi Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (2008-2010). Dalam usia 51 tahun, Saefullah mencapai puncak sebagai Walikota Jakarta Pusat (2010-2-14)) dan Sekretaris Daerah (2014-sekarang). Di luar jabatan politik Gubernur, Saefullah adalah birokrat nomor satu di Balaikota DKI. Andai Ahok menggandeng Saefullah, maka Koalisi Kekeluargaan bisa terancam bubar.
Itulah skenario pertama pilkada Jakarta yang penuh spekulasi di tengah lobi politik. Skenario kedua bila muncul tiga pasang kandidat Cagub-Cawagub, maka kompetisi lebih dinamis lagi. Pilkada Jakarta semakin sulit ditebak.
Skenario kedua hadir, bila PDIP tidak puas dengan Koalisi Kekeluargaan yang sudah terbentuk. Sebagai partai penguasa, PDIP bisa menggandeng petahana untuk melanjutkan kekuasaan. Tetapi, kekecewaan basis massa PDIP terhadap sikap Ahok sudah terlalu parah, sehingga PDIP lebih cenderung mengajukan calon sendiri. Paling berpeluang adalah mengajukan Risma atau Djarot berpasangan dengan tokoh populer dari kalangan Muslim yang dekat dengan afiliasi PKB dan PPP. Tetiba, nama Anies Baswedan disebut-sebut kenal dekat dengan Megawati sejak zaman Bung Karno masih hidup. Nama Anies tampil setelah dicopot dari posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Figur lain yang potensial adalah Yoyok R. Sudibjo, Bupati Batang, Jawa Tengah.
Bila PDIP tidak bergabung dalam koalisi besar, maka Gerindra dan PKS akan menggalang koalisi dengan Demokrat dan PAN. Koalisi ini sudah berpengalaman di berbagai wilayah dan daerah. Gerindra dan PKS tetap akan mengusung Sandi sebagai Cagub, namun perlu kompromi dengan Demokrat dan PAN untuk menentukan pendamping Cawagub. Potensi Saefullah sebagai birokrat yang tak tersandung masalah dan punya basis sosial/representasi etnik Betawi sangat signifikan untuk meningkatkan daya tarik koalisi nasionalis-Muslim modernis.
Ahok sebagai petahana akhirnya terpaksa menggandeng Heru karena pilihan yang makin terbatas. Tak banyak orang yang cocok dengan gaya kepemimpinan Ahok.
Skenario dan Peluang
A. Head to Head
1. Ahok-Heru vs Risma-Sandi
Tri Partai vs Koalisi Kekeluargaan
Hasil:Risma-Sandi unggul
2. Ahok-Djarot vs Sandi-Saefullah
PDIP+5 Partai vs Gerindra-PKS-Demokrat-PAN
Hasil: Imbang
B. Tiga Pasangan
1. Ahok-Heru
Tri Partai Kalah
2. Djarot-Anies
PDIP-PKB-PPP
Putaran 2/imbang
3. Sandi-Saefullah
Gerindra-PKS-Demokrat-PAN
Putaran 2/imbang
Jika skenario A-1 (head to head) Ahok-Heru berhadapan dengan Risma-Sandi, maka koalisi Tri Partai akan dikalahkan oleh mesin politik Koalisi Kekeluargaan yang lebih solid. Ahok tak bisa lagi hanya mengandalkan pencitraan dan kekuatan relawan.
Jika skenario A-2, duet petahana Ahok-Djarot berhadapan dengan Sandi-Saefullah, maka PDIP akan bergandengan dengan Tri Partai dan tambahan dua partai dari Koalisi Kekeluargaan. Pertarungan akan berlangusng imbang karena Gerindra-PKS akan didukung Demokrat-PAN yang memiliki basis kuat di kalangan menengah perkotaan.
Jika skenario B (tiga pasangan), maka Ahok-Heru berpeluang besar untuk kalah di putaran pertama karena tidak mendapat tambahan kekuatan partai lain. Djarot-Anies berpeluang masuk putaran kedua karena mesin politik PDIP dan basis Muslim tradisionalis. Begitu pula Sandi-Saefullah berpeluang masuk putaran kedua dengan dukungan mesin politik nasionalis-Muslim modernis.
Rasionalitas pemilih di Jakarta akan diuji, apakah mereka sungguh-sungguh menginginkan perubahan dan figur yang tepat untuk memimpin Jakarta? Atau, mereka bersikap apatis (karena angka Golput masih tinggi dalam pilkada DKI 2012) dan tidak peduli dengan kondisi Jakarta. Siapapun yang memimpin Jakarta, asal kepentingannya terpenuhi. Di tengah apatisme yang terus meruak, pilkada DKI 2017 akan penuh kejutan dan kemungkinan tampil kuda hitam dalam kompetisi politik yang ketat. [Mh/foto: merdeka]