ChanelMuslim.com – Setelah dikeluarkan dari Prolegnas 2020, RUU PKS akan masuk Prolegnas 2021 dan akan dibahas oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg).
RUU ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016 oleh Komnas Perempuan yang menyerahkan naskah akademik RUU PKS ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) pada 13 Mei 2016. RUU PKS dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2016 pada 6 Juni 2016. RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020 pada tanggal 2 Juli 2020.
Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan karena terbentur persoalan definisi kekerasan seksual dan aturan pemidanaan. (16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas, Salah Satunya RUU PKS, Kompas, 22/8/2020)
Komnas Perempuan dan sejumlah kelompok masyarakat sipil telah berulang kali mendesak agar RUU ini segera disahkan demi memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Sementara itu puluhan ormas dan masyarakat sipil lainnya termasuk MUI menyatakan sikap kritikan atau penolakannya terhadap RUU PKS. RUU PKS ini dianggap kontroversi karena bertentangan dengan ajaran agama mayoritas bangsa ini, yaitu Islam.
Untuk pembahasan RUU PKS ini, Kantor Staf Presiden (KSP) menginisiasi pembentukan gugus tugas kementerian dan lembaga untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh DPR. Gugus tugas ini berfungsi mengawal kinerja politik, aspek substansi, dan komunikasi media, sehingga pembahasan RUU PKS di DPR berlangsung efektif dan segera dapat diundangkan. (KSP Inisiasi Pembentukan Gugus Tugas RUU PKS, news.detik.com, 10/2/2021)
“Kekerasan Seksual dalam RUU PKS mengabaikan asas Ketuhanan dan mengutamakan asas lain dengan perspektif feminis dalam naskah akademiknya,” jelas Evi Risna Yanti, S.H., M.Kn., Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Literasi Budaya Alppind dalam sebuah diskusi virtual yang digagas Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND), kamis (11/2/2021).
“Terdapat pertentangan dengan KUHP yang sudah mengatur hal kejahatan kesusilaan. Dalam RUU PKS yang dilarang hanya aborsi dengan paksaan. Bagaimana dengan aborsi tanpa paksaan, bukankah itu kejahatan juga?”
“RUU PKS dalam naskah akademiknya juga mendiskreditkan syariat Islam. Seperti dalam kontrol seksual yang menyoal aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama misalnya tentang mendidik anak berhijab,” tambah Evi.
Evi juga berpendapat RUU ini mengabaikan proses pencegahan yang sifatnya pembinaan keluarga dan faktor keagamaan sebagai tindakan pencegahan. Padahal fakta menunjukan kehancuran bangsa diawali dengan kehancuran moral manusianya.
“Permasalahan yang muncul di lapangan, bisa jadi karena sosialisasi terhadap keberadaan hukum positif yang telah ada belum maksimal. Jika pun ingin mengaturnya juga, lakukan penyesuaian dan penyelarasan dengan peraturan yang sudah ada, menimbang living law yang berlaku di masyarakat kita,” kata Evi.
Dalam kesempatan yang sama, Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam kesempatan diskusi virtual yang sama mengatakan, “Dimensi RUU PKS sangat luas cakupannya, beririsan dengan persoalan hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan,dan ideologi.”
Beliau menyarankan agar pihak yang pro dan kontra RUU PKS ini bisa duduk bersama melakukan diskusi demi keutuhan bangsa dan negara.
“Sebaiknya dilakukan revisi filosofis dan yuridis dengan mempertimbangkan aspek sosiologis bangsa ini. Adopsi nilai-nilai Pancasila dengan memperhatikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai sosial budaya Indonesia.”
“RUU PKS jangan disharmoni dengan UU atau kelembagaan lain.”
“RUU PKS yang sangat berorientasi kepada korban jangan melulu melihat pihak perempuan sebagai korban tapi korban laki-laki harus juga diakomodasi,” tandas Heru.[My]