ChanelMuslim.com – Untuk memenuhi kebutuhan akan farmasi yang halal, Indonesia menerapkan peraturan bahwa segala bentuk produk yang masuk ke Indonesia, termasuk produk farmasi, harus tersertifikasi kehalalannya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Akan tetapi, untuk tujuan tersebut tidaklah mudah. Jalur untuk mendapatkan sertifikasi halal, khususnya untuk produk farmasi dianggap rumit dan tidak gampang.
Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) wilayah Jawa Barat Ali Mashuda mengemukakan, hal ini menjadi tantangan khususnya bagi profesi apoteker untuk mendukung program pemerintah.
Pasalnya program ini dianggap bisa memberikan perlindungan dan jaminan ketenangan juga ketentraman bagi umat muslim di Indonesia, dalam mengonsumsi produk farmasi.
Terlebih, profesi apoteker harus bisa bertanggung jawab pada penyediaan, pembuatan, dan pengolahan produk farmasi yang nantinya diberikan juga pada masyarakat.
“Akan tetapi untuk dapat sertifikasi halal ini cukup rumit. Tidak hanya dilihat dari bahan baku obatnya saja, tetapi juga dilihat dari cara produksi obatnya bagaimana dan cara pendistribusian obatnya,” ungkapnya di Bandung, Jawa Barat, Senin (8/5/2015).
Ia mencontohkan, untuk produk farmasi seperti gelatin kapsul saja memang sudah ada yang dibuat dari bahan aktif sapi.
Dilihat dari bahan aktifnya memang halal, tapi kata Ali, hal itu belum tentu mendapatkan sertifikasi halal karena harus juga dilihat dari cara memproduksi produk tersebut.
menurutnya, untuk produk farmasi hingga saat ini belum bisa ditentukan berapa jumlah yang halal atau tidaknya. Terlebih, produk farmasi dari bioteknologi, akan sangat sulit untuk dideteksi dari hulu ke hilirnya.
Untuk itu pihaknya terus berupaya mempertemukan antara produsen farmasi pabrikan dengan kebutuhan pasar dan MUI.
Sebab, kata Ali, butuh komunikasi yang tepat dalam menetapkan halal atau tidaknya suatu produk farmasi.
Ali menyebutkan, kendala lainnya dalam sertifikasi hala produk farmasi juga produksinya harus benar-benar dibedakan dan tidak boleh bercampur alat dan pendistribusiannya dengan produk yang belum jelas kehalalannya.
Dikatakan, pengawasan dari mulai proses pembuatan produk farmasi dari hulu ke hilirnya, harus diawasi dengan benar.
Salah satu kendalinya, ada di tangan seorang apoteker. Ia menuturkan, seorang apoteker tidak hanya bertugas menerima permintaan resep obat dari dokter saja, tetapi mereka juga memiliki kewenangan dalam memberikan jenis obat yang halal selama bahan aktifnya sama.
“Berdasarkan PP nomor 51 tahun 2009 mengenai pekerjaan kefarmasian, seorang apoteker bisa mengganti obat pasien dari obat paten ke obat generic selama bahan aktifnya sama,” jelasnya.(nf)