PP SALIMAH mengeluarkan pernyataan sikap terkait RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang diajukan pemerintah ke DPR.
Sejumlah hal dipertanyakan Salimah. Antara lain, dasar pertimbangan hak asasi manusia saja. Padahal ada hal lain yang juga sepatutnya menjadi dasar pertimbangan, yaitu Iman Takwa.
Ketua Umum Persaudaraan Muslimah Ir. Etty Praktiknyowati menyatakan bahwa Salimah mengutuk keras tindak pidana kejahatan seksual yang terjadi selama ini.
“Kami menyampaikan sikap terhadap Draft terakhir yang kami terima, hasil Panja Badan Legislatif dan Daftar Inventaris Masalah dari Pemerintah. Kami prihatin dan mengutuk keras tindak pidana kejahatan seksual yang terjadi selama ini,” kata Etty dalam rilis yang diterima ChanelMuslim.com, Selasa (5/4/2022).
Sebagai Ormas Nasional yang memiliki visi meningkatkan kualitas hidup perempuan, anak dan keluarga Indonesia, Salimah memperhatikan dan berkomitmen mendorong upaya dalam rangka mengurangi tindak pidana kejahatan seksual, mencegah, menghindari pengulangan oleh pelaku dan mendukung upaya pemulihan korban.
Terkait Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi Pemerintah, Salimah menyatakan kekecewaan yang mendalam, terkait penghilangan unsur norma agama, merendahkan harkat, martabat dan merusak keseimbangan hidup manusia dari draft pada Bagian Menimbang.
“Mulai dari Bagian Menimbang ini, selanjutnya dalam DIM Pemerintah diubah dengan menghapuskan segala yang berkaitan dengan nilai agama, Ketuhanan Yang Maha Esa, moralitas dan kesusilaan, padahal UUD NRI tahun 1945 mengakui Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Etty.
Baca Juga: Salimah Gelar Webinar Hukum Nikah Beda Agama
Pernyataan Sikap PP Salimah tentang RUU TPKS
Hal menghilangkan nilai-nilai tersebut menimbulkan pertanyaan besar Salimah, “Apakah Hak Asasi Manusia satu-satunya hal tertinggi yang harus menjadi sumber hukum di negeri ini?”
Dalam Pasal 2 poin a DIM Pemerintah, hal terkait asas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang semula didasarkan pada Asas IMAN DAN TAKWA SERTA AKHLAK MULIA; juga dihapus.
“Bukankah hal tersebut seharusnya menjadi asas utama pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual? Bukankah memasukkan Asas IMAN DAN TAKWA SERTA AKHLAK MULIA sebagai asas, sebenarnya sesuatu yang sangat pantas?” tanya Etty.
Kita meyakini semua ajaran agama menentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Menurut Etty, tidak ada satu pasal pun yang ada dalam UU Indonesia yang boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 29.
Sejalan dengan penghapusan poin a. Draft ini juga menghapus syarat penyidik kasus TPKS yang awalnya mensyaratkan memiliki iman dan takwa pada pasal berikutnya.
“Hal-hal tersebut jelas sangat mengecewakan, negeri ini seolah-olah mengabaikan nilai-nilai Ketuhanan dalam Draft Baleg RI untuk RUU TPKS ini,” lanjut Etty.
Yang dipahami Salimah, UUD 1945 tidak boleh membiarkan kebebasan absolut setiap orang untuk berbuat semata-mata menurut kehendaknya.
“Terlebih lagi dalam hal perbuatan tersebut jelas mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan bertentangan dengan nilai agama serta sinar ketuhanan,” katanya.
Oleh karena itu, manakala UUD 1945 bersinggungan dengan nilai agama (religion), UUD 1945 sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) harus menegaskan jati dirinya sebagai penjamin freedom of religion dan bukan freedom from religion.
“Segala kepastian hukum dalam bentuk norma undang-undang yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas dan bahkan bertentangan dengan nilai agama serta sinar ketuhanan haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelasnya mengutip Desenting Opinion yang diajukan Ketua MK, Wakil Ketua MK dan 2 Hakim Anggota MK atas Judicial Review Delik-Delik Kesusilaan, Pasal 284, 285 dan 292 KUHP, pada tahun 2017.
Selain itu, Salimah juga kecewa melihat DIM Pemerintah karena dalam DIM dimasukkan beberapa jenis tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana yang terkait dengan perempuan sebagai korban yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang lain.
“Tetapi melewatkan zina sebagai suatu bentuk tindak pidana kekerasan seksual padahal perbuatan zina juga masuk dalam kelompok tindak pidana kesusilaan,” ungkap Etty.
Salimah juga menyatakan kekecewaan yang mendalam terhadap Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI karena tidak memperjuangkan masukan-masukan dari masyarakat serta ormas-ormas Islam yang telah melakukan pemikiran, penelitian akan fakta-fakta kekerasan seksual yang terjadi selama ini.
“Kami melihat fakta pada kasus-kasus tindak pidana pencabulan, bahkan yang sampai pada berakibat kematian, ternyata terjadi akibat pembiaran negara dan masyarakat atas CARA HIDUP DAN/ATAU KESUSILAANNYA yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan dan atau kesusilaan,” jelasnya.
Pembiaran CARA HIDUP DAN/ATAU KESUSILAANNYA, melakukan seks sesama jenis berdampak pada meningkatnya angka HIV AIDS, rusaknya moralitas bangsa, turunnya ketahanan nasional, dan berdampak pula pada meningkatnya kasus-kasus pencabulan seksual terhadap anak-anak.
“Kami sangat menyayangkan bahwa perilaku, cara hidup dan/atau kesusilaannya, seperti ini masih terus dibiarkan, bahkan dilindungi sebagaimana terlihat dalam DIM Pemerintah,” tambahnya.
Merendahkannya dianggap Tindak Pidana Pelecehan Seksual Non Fisik, tetapi melakukan perbuatan rendah dengan CARA HIDUP DAN/ATAU KESUSILAANNYA yang bertentangan dengan ajaran agama dan kesusilaan itu sendiri, justru dilindungi.
Salimah berharap Baleg DPR RI, dapat mempertimbangkan dan memperjuangkan kembali usulan-usulan tersebut.[Mh/ind]