SEBAGAI pendidik, perlu melindungi siswa kita. Dilansir dari aljazeera, seorang Profesor Studi Pembangunan Internasional di Universitas Roskilde menyampaikan pandangannya mengenai peran pendidik dalam menyikapi perkemahan solidaritas Gaza.
“Kami mendidik generasi masa depan.”
“Kami berusaha untuk membawa kemanusiaan ke depan.”
“Kami ingin menciptakan dunia yang hebat.”
“Kami berkomitmen untuk memperbaiki masyarakat global kami.”
Dalam beberapa bulan terakhir, semboyan universitas seperti itu terbukti tidak lain hanyalah slogan-slogan yang tidak berguna.
Aksi duduk yang dipimpin mahasiswa telah bermunculan di kampus-kampus Amerika.
Mahasiswa yang melakukan protes menuntut institusi mereka menyerukan gencatan senjata segera di Gaza dan melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan Israel.
Namun alih-alih memenuhi tuntutan mereka dengan itikad baik, para rektor universitas malah melepaskan penegakan hukum Amerika yang tidak terkendali terhadap mahasiswa yang berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Palestina, yang sedang menghadapi genosida.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Polisi telah memasuki kampus-kampus dengan perlengkapan antihuru-hara, membongkar perkemahan dengan kekerasan, menganiaya pengunjuk rasa, dan menangkap ratusan orang.
Melihat semua itu, kita diingatkan bahwa universitas masa kini bukanlah tempat yang peduli untuk memberikan inspirasi perubahan atau membangun masa depan yang lebih baik melalui pendidikan tinggi.
Negara hanya terikat pada kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang seringkali berkumpul di dalam tembok-temboknya.
Jadi, sekarang saatnya bagi kita, para pendidik, untuk mengambil tindakan dan melindungi siswa kita.
Memang benar, banyak dosen pemberani yang menempatkan diri mereka dalam bahaya.
Baca juga: Rumah Sakit di Gaza Selatan Kehabisan Bahan Bakar, WHO Memperingatkan
Perkemahan Solidaritas Gaza: Kita, Sebagai Pendidik, Perlu Melindungi Siswa Kita
Pada tanggal 22 April, staf pengajar Universitas New York (NYU) terlihat membentuk rantai di sekitar perkemahan solidaritas Palestina ketika para pengunjuk rasa bersiap untuk berdoa.
Mereka melakukan hal yang sama keesokan harinya ketika Departemen Kepolisian New York (NYPD) memasuki kampus untuk membongkar perkemahan setelah pihak administrasi universitas meminta mereka untuk turun tangan.
NYPD menuduh fakultas melakukan kekerasan terhadap penegakan hukum.
Namun para saksi mengatakan bahwa mereka hanya melindungi siswa mereka dari polisi anti huru hara yang bersenjata lengkap.
Setelah itu, fakultas dari beberapa departemen di NYU menulis surat kepada pimpinan universitas, mengutuk intervensi NYPD.
Surat dari Fakultas Hukum NYU menyebut intervensi polisi sebagai noda di universitas.
Di Virginia Tech, pimpinan juga meminta penegak hukum untuk membubarkan kelompok solidaritas.
Hal ini mengakibatkan 82 orang ditangkap tanpa izin, termasuk asisten profesor Desiree Poets dan Bikrum Gill yang berdiri di samping mahasiswa yang melakukan protes.
Dan ketika polisi menyerbu perkemahan di Universitas Washington di St Louis, Profesor Steve Tamari yang berusia 65 tahun dari Universitas Southern Illinois Edwardsville, tubuhnya dibanting dan dihancurkan oleh beban beberapa petugas polisi St Louis County dan kemudian diseret melintasi kampus.
Profesor Tamari mengalami patah tangan dan tulang rusuk akibat penyerangan yang dilakukan polisi.
Dalam sebuah pernyataan, dia berkata, “Seorang dokter mengatakan kepada saya bahwa saya beruntung masih hidup. Paru-paru saya bisa saja tertusuk dan saya bisa saja mati di tanah karena mereka menganiaya saya.”
Dengan berdiri di antara mahasiswa dan penegak hukum, para dosen ini telah mengingatkan kita akan tanggung jawab kita sebagai pendidik.
Maka sudah menjadi peran kita sebagai pendidik untuk merawat dan melindungi mereka, ketika mereka mempraktikkan di luar kelas, apa yang telah mereka pelajari di kelas, dan menuntut tindakan dari mereka yang memimpin universitas kita.
Apa yang kita saksikan bukanlah masalah Amerika saja.
Pada saat artikel ini ditulis, media sosial dibanjiri dengan video penegakan hukum yang membongkar perkemahan mahasiswa dengan kekerasan di Berlin dan Amsterdam.
Perkemahan juga muncul di tempat lain di Eropa, Australia, Meksiko, dan Jepang. Resonansi global dari gerakan mahasiswa ini terbukti dengan sendirinya.
Dan para pendidik harus memutuskan sisi sejarah mana yang mereka inginkan.[Sdz]