ChanelMuslim.com – Pada Tahun 2021, RUU P-KS (Pencegahan Kekerasan Seksual) kembali masuk dalam Prolegnas DPR-RI 2021. RUU ini mengabaikan proses pencegahan yang sifatnya pembinaan keluarga dan keagamaan sebagai tindakan pencegahan padahal fakta bahwa kehancuran bangsa diawali dari kehancuran moral manusianya. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Literasi Budaya Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (Alppind) Evi Risna dalam acara Webinar dengan tema RUU P-KS Is Back pada Kamis, (11/02/2020).
Menurut Evi, ada kelompok yang pro dan kontra terhadap RUU-PKS.
“Komnas Perempuan dan sejumlah kelompok masyarakat sipil berulang kali mendesak agar RUU ini segera disahkan yang katanya demi memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Evi, pihak yang kontra terhadap RUU P-KS juga tidak sedikit, puluhan ormas dan masyarakat sipil lainnya termasuk MUI menyatakan sikap kritikan atau penolakannya terhadap RUU PKS karena isinya masih terdapat hal yang dianggap kontroversi, bertentangan dengan ajaran agama mayoritas bangsa ini, yaitu Islam.
Ketika membaca naskah akademiknya, menurut Evi, definisi Kekerasan Seksual dalam Draft RUU P-KS adalah “Setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Evi juga mengatakan bahwa setiap orang yang memilih untuk pro dan kontra mempunyai alasan tersendiri. Pihak kontra memberikan catatan untuk menolak, mengkritisi pengesahan RUU-P-KS dengan beberapa alasan.
Pertama, Kekerasan Seksual dalam RUU-P-KS mengabaikan asas Ketuhanan dan mengutamakan asas lain dengan perspektif feminis dalam Naskah Akademik
Kedua, terdapat pertentangan dengan KUHP yang mengatur hal kejahatan kesusilaan, misalnya pelarangan aborsi, tanpa atau dengan paksaan).
Ketiga, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, misalnya mendidik anak untuk berhijab, melarang ketika ada yang mau menerapkan ajaran agamanya.
Evi juga menyoroti kalimat “meremehkan hasrat seksual seseorang” sebagai bentuk kekerasan seksual dalam RUU P-KS. Kata Evi, kata itu masih menjadi perdebatan, hasrat seksual yang seperti apa yang dimaksud.
Kelima, menjadikan contoh ajaran syariat agama sebagai bentuk contoh kekerasan seksual, misalnya berkhitan, menyebut hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan, sebagai bentuk Kekerasan Seksual.
Perbedaan penggunaan istilah kekerasan vs kejahatan dapat dilihat dari pemberian batasan yang tegas perihal unsur-unsur tindak pidana, Nomenklatur “kejahatan seksual” lebih sesuai untuk digunakan dibandingkan “kekerasan seksual” karena menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.
Menurut Evi, konsistensi penggunaan istilah yang digunakan dalam UU yang menggambarkan objek yang sama memerlukan penyeragaman istilah yang digunakan.
Misal, kata Evi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, digunakan istilah “kejahatan seksual”.
“Sejalan dengan itu, dalam Buku II Bab XIV KUHP, digunakan istilah ‘kejahatan terhadap kesusilaan’. Sementara itu, dalam RKUHP digunakan istilah yang lebih umum yaitu ‘tindak pidana kesusilaan’,” ujarnya.
Definisi kekerasan tidak cukup kuat, lanjut Evi, sementara penggunaan terminologi “crime“/kejahatan lebih tegas.
Penggunaan definisi kekerasan akan menimbulkan makna yang terlalu samar dan multitafsir dan tidak digunakan dalam perundangan-undangan lain di luar KUHP, UU ini juga Mengatur Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Perempuan.
“`Pengaturan kekerasan seksual dalam hukum positif sudah cukup banyak. Jangan tinggalkan asas Ketuhanan dalam RUU ini atas nama HAM. Pertimbangkan untuk menghormati aturan syariat agama mayoritas bangsa ini (terkait khitan perempuan dan kontrol seksual), juga hormati UU Otonomi yang sudah sah, (terkait jenis penghukuman cambuk),” tegasnya.
Ia mengatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi mayoritas bangsa ini menganut agama Islam. Oleh karena itu, hal semacam kebebasan gender, bukan hal yang mudah untuk diterima karena ajaran agama membatasi jenis kelamin hanya laki-laki dan perempuan sehingga pilihan di luar itu bertentangan dengan keyakinan agama, dan perlu dibahas hati-hati. Permasalahan yang muncul di lapangan bisa jadi karena sosialisasi terhadap keberadaan hukum positif tersebut belum maksimal.
“Jika pun ingin mengaturnya juga, lakukan penyesuaian dan penyelarasan dengan peraturan yang sudah ada, menimbang living law yang berlaku di masyarakat kita,” tutupnya.[ind/Walidah]