oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
ChanelMuslim.com – Sejak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan pemerintah, banyak orang Islam takut bicara khilafah. Banyak yang takut dicap radikal, anti Pancasila, tidak setia kepada NKRI dll. Lebih-lebih lagi, langsung dituding sebagai pengikut HTI ketika bicara khilafah. Ketika misalnya kebetulan menjadi aparat pemerintah, baik militer (TNI/Polisi) atau sipil (ASN), bicara khilafah mungkin lebih menakutkan lagi. Maka, diam barangkali menjadi langkah aman dan mengamankan agar “dapur terus ngebul”.
Tapi, bagi seorang muslim yang merdeka tidak demikian. Apalagi ketika dia adalah seorang ayah dari keluarga muslim. Bicara khilafah tak usah takut. Biasa saja. Dalam “Parenting Nabawiyyah”, Budi Ashari, Lc pendiri sekolah Kuttab Al-Fatih menjelaskan sebuah hadis riwayat Ahmad ini. Kelak, akan datang khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah. Ini adalah kalimat nubuwwah, bersumber langsung dari nabi.
Cirinya, para pemimpinnya adalah pemimpin-pemimpin yang adil, menyejahterakan rakyatnya. Rakyatnya adalah orang-orang beriman yang senantiasa berupaya berada dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini sekaligus mengingatkan akan sebuah doa “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan-pasangan kami, dan anak keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
Dalam setiap kesempatan, istri saya yang masih bernuansa “Tarbiyah” sering bilang, “Tugas ayah itu nggak hanya cari nafkah, tapi bawa semua keluarga ke surga”. Menyejukkan, tapi penuh perjuangan. Benar, memang tugas seorang ayah, dalam keluarga muslim yang saya pahami, tak sekadar mencari nafkah saja. Walau itu mungkin hal utama yang harus beres terlebih dahulu. Ini tentu biasa karena seorang ayah mengalaminya.
Membawa keluarga ke surga? Di level pribadi, selaras dengan yang Allah swt firmankan dalam Alquran surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Begitulah visi besar pribadi keluarga muslim. Sementara, visi besar untuk peradaban adalah bagaimana setiap keluarga beserta anak keturunan ikut andil dalam kebesaran Islam di zaman mendatang seperti sebuah fase yang telah disebut oleh Rasulullah itu.
Menjadi sebuah ironi ketika banyak orang Islam kini takut bicara khilafah. Lebih-lebih, hanya karena misalnya dikatakan bertentangan dengan kesepakatan bernegara bernama Pancasila. Tidak. Dengan memahami konteks sejarah dan penghargaan terhadap perjuangan pendiri bangsa, konsep tentang khilafah dan Pancasila sebenarnya bisa berjalan tanpa harus dipertentangkan. Sebuah konsep ideal dan fakta sejarah keIndonesiaan saling bisa mengisi. Dengan demikian perbincangan seputar khilafah tetap hidup.
Dengan memahami konsep besar demikian, maka melahirkan generasi penegak khilafah sebenarnya adalah proyek peradaban yang mesti ada dalam setiap visi keluarga muslim. Sebuah usaha untuk melahirkan generasi terbaik sebagai pijakan awal. Sebuah generasi terbaik, umat terbaik, khaira ummah (the chosen people). Seperti tersebut dalam Alquran surat Ali-Imran ayat 110. “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Prof. Kuntowijoyo (alm) yang dikenal lewat basis “Ilmu Profetiknya” menerangkan bagaimana konsep “The Chosen People” ini tentu berbeda dengan Yudaisme, sebuah mandat kosong yang menyebabkan rasialisme. Sementara, dalam Islam, konsep umat terbaik justru sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras, ke arah aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (uhkrijat linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan umat dalam sejarah. Sementara, nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar, iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam. Konsep demikian membongkar narasi besar. Ini yang membedakan Islam dari etika materialistik. Di mana pandangan kaum Marxis bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis sosial, kondisi material) tertolak. Demikian pula pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga, segala bentuk sekularisme bertentangan dengan kesadaran ilmiah.
Memang, dalam pengasuhan (parenting), kita perlu terus berusaha dan menggali konsep-kosep ideal demi sebuah generasi gemilang. Beragam konsep ditawarkan dari Barat dan Timur dengan teori-teori baru. Semua diselaraskan zaman. Hanya saja, sebagai seorang muslim, menggali konsep-konsep kunci dalam Alquran perlu terus dilakukan. Kenapa? Karena Islam menawarkan keabadian. Inilah tugas besar seorang ayah. Menjadi dan melahirkan generasi penegak khilafah. Memang butuh asupan pemikiran karena kita sedang bicara konsep-konsep, bukan sekadar “Tips-Tips Parenting”. Tidak sependapat boleh. Tapi, tanpa harus menjadi HTI, saya pribadi yakin dan berusaha ikut serta dalam proyek melahirkan generasi terbaik ini.
Depok, 5 Februari 2020
[ind]