ChanelMuslim.com – Zaki Zaidan dan Archie Vian Nizam Efendi mengaku prihatin Indonesia kelangkaan garam dan harus impor. Padahal, Indonesia berbentuk garis terpanjang di dunia setelah Hawai.
“Salah satu penyebabnya karena teknologi pembuatan garam masih konvensional. Proses pembuatan garam menjadi lama dan hasil yang belum memenuhi standar Mutu SNI,” tutur Archie, Jumat (28/9) dikutip laman kemenag.go.id.
Ini yang membuat dia dan Zaki memutuskan untuk membuat karya ilmiah berjudul “Celtro-G (Accelerator Salt Processing Technology): Berbasis Geomembran dan Efek Rumah Kaca dengan Teknologi Pemurni Vakum Sebagai Alternatif Teknologi Produksi Garam Konvensional Untuk Produsen Garam Nasional”.
Di bawah bimbingan Zahratul Mufidah guru pembina KIR MTsN 1 Kota Malang, kedua siswa ini membuat alat CELTRO-G untuk mempercepat pembuatan garam dan menghasilkan produk yang sesuai SNI.
Berkat karya ilmiahnya tersebut, dua siswa MTs Negeri 1 (MTs N 1) Kota Malang ini, berhasil menyabet Juara 2 Madrasah Young Researcher Super Camp (MYRES) Tahun 2018 pada kategori bidang sains, matematika dan pengembangan tehnologi.
Keberhasilan keduanya terasa makin istimewa, karena kelompok peneliti asal Kota Malang ini menjadi satu-satunya finalis yang masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah di antara enam tim finalis pada kategori sains, matematika, dan pengembangan teknologi.
“Lima kelompok lainnya merupakan siswa Madrasah Aliyah,” tutur Zahratul.
Kedua remaja putra ini berhasil masuk final MYRES 2018 bersama 18 kelompok peneliti lain pada tiga macam kategori bidang. Masing-masing bidang keagamaan, bidang sosial humaniora, serta bidang sains, matematika dan pengembangan teknologi. Masing-masing kategori ilmu diikuti oleh enam kelompok peneliti yang sebelumnya telah lolos seleksi dari sekitar 663 judul penelitian siswa madrasah yang masuk ke panitia.
Kepala MTsN 1 Kota Malang Samsudin, yang turut mendampingi Zaki dan Archie menuturkan hasil karya ilmiah keduanya telah lulus uji laboratorium di beberapa kampus di Kota Malang.
“Mudah-mudahan penemuan ini mampu mempercepat pembuatan garam sehingga dapat meningkatkan produktivitas petani garam,” tutur Samsudin.
Ia menambahkan, secara konvensional alat yang digunakan petani garam selama ini hanya efektif digunakan saat musim panas.
Sementara dengan alat sederhana yang dihasilkan kedua siswanya ini mampu bertahan pada berbagai macam cuaca.
Hal tersebut dibenarkan Zaki yang mengatakan dengan alat ini, pembuatan garam tidak hanya tergantung panas matahari saja.
“Celtro-G ini bisa digunakan meski tidak saat musim panas karena bisa digunakan di dalam ruangan,” tuturnya.
Ia pun menjelaskan agar penguapan air dalam mempercepat proses pembuatan garam efektif, Celtro-G tetap menggunakan sinar matahari dan ditaruh di luar ruangan.
“Namun, alat ini tahan terhadap hujan sehingga tetap bisa digunakan di segala musim, termasuk saat musim hujan,” jelasnya.
Archie menuturkan kelebihan Celtro-G dibandingkan alat konvensional adalah kalau produksi garam secara alami konvensional, petani garam kita mampu menghasilkan garam dalam waktu 30 hari.
“Nah, dengan menggunakan celtro-G, kita mampu menghasilkan garam murni dalam waktu sekitar 7 hingga 10 hari,” terang Archie.
Ke depan, Samsudin berharap alat yang dihasilkan dua peneliti muda bumi Arema ini dapat diproduksi secara massal karena nilai kemanfaatan bagi petani garam.
Senada dengan Samsudin, Archie dan Zaki berharap alat yang mereka hasilkan ini dapat dikembangkan lagi sehingga bisa digunakan secara massal oleh petani garam.
“Kami akan mengembangkan alat ini untuk menutupi beberapa kekurangan yang ada, seperti kontrol waktu. Kami akan mencoba merealisasikan ini, kami yakin alat ini bermanfaat karena kebutuhan garam yang terus meningkat seiring jumlah penduduk yang terus bertambah,” tutup Zaki.
Sukses dan selamat. Semoga karyanya bermanfaat untuk umat. (jwt/kemenag)