oleh: Fajar Sidik (Pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Aceh)
ChanelMuslim.com – Jangan salahkan anak-anak jika di sekolah melakukan bullying terhadap teman-temannya. Saat anak tidak prestatif, nilai yang menurun, atau tidak disiplin ke sekolah. Sering orang tua menyudutkan psikologi anak atau anak secara alami mengalami bullying dari orang terdekatnya sendiri.
Jika hal tersebut terus menerus dilakukan, maka anak akan menganggap bahwa tekanan-tekanan psikologi orang tua terhadapnya, merupakan hal yang wajar. Dampaknya, anak-anak akan melakukan hal yang sama kepada pihak lain, atau melampiaskan kegundahannya di rumah pada pihak lain yang menyebabkan terjadinya bullying.
Menurut American Psychiatric Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan tiga kondisi yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat. Artinya, perilaku bullying dapat terjadi pada level masyarakat manapun selama memenuhi tiga syarat tersebut.
Menghentikan bullying bukan hal mudah. Butuh proses panjang dan menyeluruh serta peran serta seluruh elemen. Jika mengandalkan sekolah untuk mencegah terjadinya bullying, maka hal tersebut mustahil dapat tercapai. Apalagi, sebagian besar waktu dan interaksi seorang anak, justru dilakukan di lingkungan rumah. Apalagi bullying itu hadir karena karakter dan sikap yang terbentuk pada diri seorang anak.
Lalu, bagaimana meminimalisasi bullying terhadap anak dan remaja? Proses tersebut perlu dimulai dari pendidikan parenting terhadap orang tua. Bahkan pendidikan tersebut perlu diberikan pada seluruh calon ayah dan calon ibu dan menjadi salah satu nasihat jelang pernikahan berlangsung. Dengan meningkatnya pengetahuan orangtua dan atau calon orang tua, maka bullying yang terjadi pada dunia pendidikan maupun lingkungan sosial, dapat ditekan. Anak-anak memiliki bekal pemahaman yang cukup dari orang tuanya bagaimana berperilaku dan bersosialisasi yang baik dan normal sehingga terhindar dari perilaku mem-bully. Kemudian, sekolah memberikan penguatan hal tersebut sehingga anak dan remaja memiliki karakter anti bullying di mana pun berada dan menjadi jaringan sosial yang kokoh untuk mencegah terjadinya perilaku bullying tersebut.
Dengan semakin lenyapnya potensi bullying, maka tugas-tugas ‘normalisasi’ psikologi para saksi dan korban bullying, akan semakin ringan, baik di level sekolah maupun kepolisian. Hal ini karena telah tercipta lingkungan-lingkungan sosial yang memiliki kesadaran anti bullying yang tinggi.
Menuju kondisi tersebut, maka hal yang perlu dilakukan adalah membentuk simpul-simpul sosial yang dibina secara khusus untuk menciptakan lingkungan anti bullying. Simpul-simpul sosial tersebut dapat berupa sekolah-sekolah berpredikat anti bullying, atau RT/RW, atau komunitas-komunitas anak dan remaja yang memang di-treatment khusus sehingga terbentuk karakter anti bullying. Hingga level terkecil yakni keluarga-keluarga yang menerapkan komunikasi yang sehat dan anti bullying. Apabila hal tersebut dapat diwujudkan, maka perilaku bullying secara perlahan akan lenyap dari masyarakat.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab mewujudkan simpul-simpul sosial anti bullying tersebut? Tentu seluruh masyarakat dapat berpartisipasi dalam menciptakan simpul-simpul sosial ini. Seorang kepala RT/RW dapat mengajak warganya untuk meningkatkan kesadaran pada perilaku-perilaku bullying dan merumuskan pencegahannya. Dengan demikian, dalam rentang waktu tertentu akan terwujud keluarga-keluarga yang anti bullying dan akan mendukung terciptanya RT/RW yang anti bullying. Begitu juga pada komunitas-komunitas sosial untuk memahami perilaku bullying, menciptakan komunikasi yang baik, sehingga terwujud komunitas yang sehat dan anti bullying. Lebih lanjut, dengan terciptanya individu-individu anti bullying maka akan mendukung terwujudnya pencegahan massal bullying di masyarakat, atau minimal akan semakin banyak relawan-relawan anti bullying yang berani melaporkan aksi-aksi bullying yang disaksikan di lingkungannya kepada aparat penegak hukum dan atau lembaga/unit yang memiliki tugas dan fungsi terkait.
Berdasarkan data tahun 2018, KPAI menyebutkan dari total 455 kasus pada data bidang pendidikan bahwa kasus bullying atau perundungan terdapat 161 kasus dan di antaranya 41 kasus adalah kasus anak pelaku kekerasan dan bullying, sekitar 228 kasus kekerasan dan selebihnya kasus tawuran pelajar. Hal ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yakni tahun 2014 sebanyak 5.066 kasus, tahun 2015 sebanyak 4.309 kasus dan tahun 2016 mencapai 4.620 kasus dan 2017 sebanyak 976 kasus. Bahkan catatan lebih mengejutkan disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yaitu dalam rentang waktu tahun 2011 s.d. 2016 ditemukan 23 ribu kasus kekerasan terhadap anak. Namun, khusus kasus bullying hanya sebanyak 253 kasus dengan rincian 122 anak sebagai korban dan 131 anak sebagai pelaku.
Melihat data tersebut, maka paling penting yang perlu dilakukan adalah melindungi masa depan anak, baik mereka yang menjadi saksi, korban bahkan pelaku. Karena sejatinya anak-anak pelaku bullying juga merupakan korban dari pola pendidikan dan lingkungan sosial yang ada. Solusi terbaik meminimalisasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan komunitas yang anti bullying. Bahkan individu-individu dari masyarakat dapat menjadi agen-agen sosial yang dapat berperan menyosialisasikan, mencegah bahkan melaporkan aksi-aksi bullying yang terjadi.
Peran Pemerintah Daerah
Dalam upaya mewujudkan simpul-simpul sosial anti bullying, dukungan pemerintah daerah di Aceh sangat diperlukan. Hal tersebut karena struktur birokrasi pemda dapat dioptimalkan untuk membentuk, menggerakkan dan mengevaluasi gerakan bersama anti bullying tersebut. Mengingat besarnya peran tersebut, maka hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain:
Pertama, menyusun konsep simpul sosial anti bullying dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Penguatan paling besar dilakukan pada bidang pendidikan sebagai pembentuk karakter individual. Apabila setiap lembaga pendidikan telah bebas dari sikap-sikap bullying, kepada anak didik maupun tenaga pengajar, maka hal tersebut telah menjadi modal utama untuk menguatkan simpul sosial yang lebih luas lagi. Pembebasan pendidikan dari bullying, juga harus diikuti dengan ketangguhan mental untuk menolak perilaku bullying yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Sikap individual tersebut harus menjadi sikap komunal untuk meredam dan melawan prilaku bullying yang terjadi di luar dunia pendidikan.
Kedua, pemda perlu menyusun kebijakan anti bullying di berbagai sektor, baik pendidikan, dunia kerja maupun lingkungan sosial lainnya, dengan mengembangkan sikap rukun, saling support dan bertoleransi atas perbedaan fisik maupun non-fisik yang terjadi. Kebijakan tersebut perlu dikuatkan dengan berbagai aktivitas kebersamaan dan sosialisasi secara intensif, termasuk melalui pemuka-pemuka agama. Dengan demikian, kebijakan tersebut dapat dipahami oleh masyarakat dengan baik.
Ketiga, komitmen penegakan hukum. Penegakan hukum adalah jalan terakhir untuk mengendalikan perilaku bullying di masyarakat. Tentunya upaya penegakan hukum tersebut, perlu dilakukan secara terukur. Jangan sampai, upaya penegakan hukum justru menjadi perlakuan ’bullying’ yang dilegalkan. Oleh karena itu, aparat penegak hukum maupun elemen masyarakat lainnya, perlu memahami akar permasalahan dari peristiwa bullying yang terjadi, merumuskan solusi terbaik dan mendidik bagi pelaku, korban maupun masyarakat luas lainnya. Tidak serta merta pelaku bullying dikenakan delik pidana atau hukuman sosial lainnya. Perlu dilakukan kajian dan analisa mendalam yang melibatkan psikolog anak, orang tua pelaku dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Karena anak-anak bangsa ini, harus terbebas dan merdeka dari bulyying dan tumbuh optimal sesuai zamannya.[ind]