Chanelmuslim.com-Prospek Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa mengalami pasang surut. Dewasa ini di saat masalah pengungsi dari Suriah menjadi persoalan serius di Eropa,
tiba-tiba Uni Eropa kembali menjanjikan Turki untuk menjadi anggota, jika berhasil mengatasi masalah terkait gelombang pengungsi ke Eropa. Mampukah Turki Mengatasi Masalah Arus Pengungsi ke Eropa?
Oleh: Sitaresmi S. Soekanto
Prospek Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa mengalami pasang surut. Dewasa ini di saat masalah pengungsi dari Suriah menjadi persoalan serius di Eropa,
tiba-tiba Uni Eropa kembali menjanjikan Turki untuk menjadi anggota, jika berhasil mengatasi masalah terkait gelombang pengungsi ke Eropa. Mampukah Turki mengatasi masalah arus pengungsi ke Eropa?
Rem Korteweg, seorang peneliti senior dan pengamat hubungan luar negeri dari Centre for European Reform (CER) yang berkantor di London, mengatakan bahwa sesungguhnya Eropa dan Turki memang saling membutuhkan satu sama lain. (Anadolu Post, 13/12/2015).
Eropa maupun organisasi Uni Eropa membutuhkan Turki dalam spektrum yang luas, mulai dari persoalan arus pengungsi Suriah hingga soal menghadapi Rusia. Pertemuan Uni Eropa dengan Turki pada hari Minggu, 6 Desember 2015
menunjukkan bahwa Uni Eropa membutuhkan Turki sebagaimana Turki juga membutuhkan Uni Eropa.
Bahkan dewasa ini, semua persoalan solusinya seolah-olah mengarah ke Ankara. Turki menjadi negara kunci untuk mengatasi berbagai persoalan.
Mulai dari upaya mengatasi terorisme, masalah pengungsi Suriah, dan soal pengamanan energi dalam kaitannya dengan Rusia. Namun, Turki juga membutuhkan Uni Eropa dalam upayanya menjaga pertumbuhan ekonomi
seiring meningkatnya jumlah penduduk di Turki. Oleh karena itu, Turki membutuhkan hubungan kerja sama ekonomi dan investasi asing dari negara-negara anggota Uni Eropa.
Uni Eropa menggunakan pendekatan berbasis transaksional dengan Turki. Yakni, jika Turki mampu mengatasi masalah pengungsi Suriah maka ia akan diterima menjadi anggota Uni Eropa. Hal tersebut di satu sisi merupakan kabar gembira buat Turki terkait peluang menjadi anggota Uni Eropa. Namun, mampukah Turki menyetop arus migran ke Eropa?
Sebab, jika upaya untuk menyetop arus migran ke Eropa tidak berhasil
maka boleh jadi rencana bahwa orang-orang Turki bebas visa ke seluruh negara Eropa
yang direncanakan Oktober 2016 akan tertunda. Atau bisa dikatakan pula peluang menjadi anggota Uni Eropa menjadi mengecil atau bahkan hilang.
Sebaliknya, bagi Uni Eropa, jika Turki mampu mengatasi masalah arus pengungsi Suriah ke Eropa,
maka mau tak mau ia harus menepati janji untuk menerima Turki sebagai anggota Uni Eropa. Kemudian, bila Turki tidak mampu mengatasi masalah arus pengungsi Suriah,
maka Eropa akan dibanjiri pengungsi dari Suriah yang memiliki perbedaan agama dan kultur. Oleh karena itu, pendekatan transaksional tersebut sebenarnya sama-sama beresiko untuk negosiasi kedua belah pihak.
Namun, pengamat juga mengkritisi pendekatan transaksional Uni Eropa yang menganggap Turki sebagai buffer zone. Apakah Turki benar-benar siap memainkan peran ini dan apa akibatnya bagi persoalan dalam negeri Turki sendiri?
Angeliki Dimitriadi juga dari ECFR mengatakan bahwa Turki memang memiliki berbagai peran strategis. Tidak diragukan, Turki adalah aktor penting di Uni Eropa
baik dalam menangani arus pengungsi atau migran dari Suriah dan sekitarnya saat ini,
maupun dalam penataan arus migran ke Eropa pada umumnya secara menyeluruh. Namun, Angeliki juga mengingatkan bahwa perjanjian antara Uni Eropa dengan Turki bukannya tanpa syarat.
Pemerintah Turki harus menjamin kehidupan migran,
jika tidak dilakukan Uni Eropa tidak bisa mentransfer dana yang dijanjikan.
Dimitriadi mengatakan bahwa masih ada bab-bab baru yang akan dibahas yang membutuhkan proses yang panjang. Namun, ia menggambarkan bahwa pertemuan yang dilakukan pada tanggal 29 November 2015 lalu
merupakan hasil pembicaraan yang berimbang.
Hasil pertemuan tersebut berupa rekomendasi bahwa pada bulan Oktober 2016,
Uni Eropa menjanjikan sebagai awal permulaan setiap rakyat Turki bebas visa ke seluruh negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Selain itu, pertemuan tersebut juga mencakup perjanjian ekonomi dan moneter pada tanggal 14 Desember. Turki mendapatkan 3,2 juta Euro untuk menangani persoalan migran Suriah.
Namun, dalam kesempatan lain PM Ahmed Davutoglu sendiri menegaskan bahwa concern Turki sangat serius dalam hal
penanganan para pengungsi korban represi rezim Bashar Assad di Suriah karena hal ini, menurutnya, adalah persoalan kemanusiaan. Bukan semata-mata soal bantuan dana dari Uni Eropa atau terbukanya peluang menjadi anggota Uni Eropa
sebagaimana dijanjikan oleh Uni Eropa, dalam hal ini, antara lain oleh Kanselir Jerman Angela Merkel.
Oleh karena itu, pertanyaannya, mampukah Turki memperbesar peluang untuk menjadi anggota Uni Eropa dengan cara mengatasi persoalan lonjakan arus migran ke Eropa?
Saya meyakini besar kemungkinan Turki mampu mengatasi masalah pengungsi Suriah. Sebab selama ini Turki sudah menampung 2,5 juta pengungsi Suriah.
Masalah kesamaan agama dan budaya, membuat Turki lebih mudah memahami dan berempati.
Jadi bukan hanya masalah peluang menjadi anggota Uni Eropa
atau persoalan humanity atau persoalan solidaritas kemanusiaan,
namun juga karena solidaritas keislaman.
Namun, tentu saja, Turki juga membutuhkan bantuan terpadu
baik dari Uni Eropa maupun negara negara lainnya terutama negara-negara Muslim,
karena tidak bisa hanya Turki yang menjadi buffer zone.
Hal yang dimaksudkan sebagai buffer zone (zona atau daerah penyangga) adalah bahwa Turki dijadikan semacam daerah penampungan bagi para pengungsi untuk menahan laju arus pengungsi ke negara-negara Eropa.
Hal itu ada positif dan negatifnya. Positifnya bahwa para migran tersebut tetap berada di wilayah muslim sehingga tidak terlunta lunta dan terjaga aqidahnya. Negatifnya, hal itu bisa memicu persoalan di dalam negeri Turki sendiri misalnya, suku Kurdi saja sudah mulai membuat ulah karena jealous dengan para pengungsi dari Suriah yg diperlakukan dengan baik oleh pemerintah Turki.
Maka seharusnya beban Turki dikurangi karena sudah menampung 2,5 juta pengungsi dari wilayah Suriah dan sekitarnya. Oleh karena itu, walaupun Turki diberi beban tugas mengelola para pengungsi yang memasuki Eropa dari wilayah pergolakan Afghanistan, Irak dan terutama Suriah, seharusnya negara negara Muslim lain ikut membantu, misalnya dengan perjuangan diplomasi di PBB untuk menghentikan kekerasan oleh negara terhadap rakyatnya seperti di Suriah, maupun memberikan edukasi agar bibit-bibit radikalisme karena kurangnya pemahaman seperti yang terjadi dalam kasus ISIS karena ditunggangi oleh kepentingan AS dan sekutunya.
Selain itu, kesediaan membantu secara pendanaan termasuk kesediaan menampung pengungsi juga harus ditawarkan oleh negeri-negeri Muslim. Harus ada kesadaran solidaritas negeri-negeri Muslim bahwa ini adalah tanggung jawab bersama atas dasar ukhuwwah islamiyah, kal jasadil Wahid. Atau hadits Nabi bukan golongan kami yang tidak peduli pada urusan umatku. Lalu, dari negara-negara Uni Eropa diharapkan lebih fleksibel menghadapi para pengungsi serta tidak serta merta menolak atau memperlakukan dengan kekerasan.
Dengan demikian, Turki, saya yakin dapat mengatasi persoalan migran ini dan diterima oleh Uni Eropa, tentu dengan kerja sama berbagai pihak.