Lebih dari satu dekade setelah memberlakukan larangan jilbab di Prancis, umat Islam di negara Eropa mengeluhkan bahwa larangan tersebut telah memberikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap komunitas mereka.
“Apa yang kita lakukan salah?” seorang anak muslim bertanya kepada ibunya setelah dilarang masuk ke pantai di dekat Paris, New York Times melaporkan pada hari Rabu, 27 Mei kemarin.
Ibu dari anak berusia 9 tahun, Malek Layouni, menceritakan bagaimana dia merasa dipermalukan ketika para pejabat setempat menghalangi dirinya untuk masuk ke wahana hiburan hanya karena ia mengenakan hijab.
Pada tahun 2004, Prancis melarang perempuan Muslim mengenakan jilbab di tempat-tempat umum. Beberapa negara Eropa kemudian mengikuti contoh Prancis.
Perancis juga melarang pemakaian cadar di depan umum pada tahun 2011.
Selain larangan saat ini, beberapa politisi Prancis menyerukan untuk memperpanjang larangan jilbab di lapangan pekerjaan, lembaga pendidikan dan kehidupan masyarakat umum.
Dan debat seputar jilbab muncul kembali baru-baru ini, menyusul insiden serangan di Paris yang menewaskan 17 orang, termasuk dua orang Muslim.
Situasi bagi umat Islam Prancis semakin memburuk, terutama setelah serangan Charlie Hebdo pada bulan Januari.
Pada bulan April, National Observatory Against Islamophobia memperingatkan bahwa ada peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam serangan Islamofobia di Prancis selama tiga bulan pertama 2015, naik enam kali lipat dibandingkan tahun 2014.
Tindakan Islamofobia melonjak 500% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2011, menurut National Observatory Against Islamophobia.
National Observatory Against Islamophobia mengatakan lebih dari 100 insiden telah dilaporkan ke polisi sejak serangan Charlie Hebdo.
National Observatory Against Islamophobia juga mencatat bahwa lebih dari 222 tindakan yang terpisah dari perilaku anti-Muslim tercatat pada bulan pertama setelah serangan bulan Januari lalu.[af/onislam]