ChanelMuslim.com – Rifia seorang anak 10 tahun asal Desa Sangguku, Kecamatan Gangga, Lombok Utara merupakan salah satu korban gempa Lombok.
Saat gempa terjadi pada Ahad, 5 Agustus 2018 lalu, Rifia tengah berada di dalam masjid di dekat rumahnya. Saat itu ia sedang melaksanakan shalat isya setelah selesai mengaji.
Tiba-tiba, tanpa peringatan apapun sebelumnya, reruntuhan bangunan menimpa dirinya hingga melukai dan merobek bagian mulutnya.
Tak hanya perih dan sakit yang dirasa, tapi ada trauma dan ketakutan pasca kejadian. Ibu dan Ayahnya tak bisa berbuat apa-apa dan Rifia harus bertahan selama dua hari dalam kondisi kesakitan.
Penanganan medis saat itu hanya seadanya, baru bisa membantu Rifia untuk membersihkan luka dan darah-darah yang bercucuran dari sekitar mulutnya. Ibu pun terlihat menahan kesedihan dan Ayah mencoba untuk tegar.
“Rumah kami hancur, rata bersama tanah. Tapi yang penting kami selamat. Kami ingin anak kami segera sembuh. Kami ingin selamat”, ungkap Ibu Rifia saat berada di posko medis dan bersiap mengantar anaknya untuk tindakan medis selanjutnya.
Rifia baru tertangani saat Rabu 8 Agustus 2018 oleh dokter Sjarief Darmawan, tim medis Dompet Dhuafa yang bertugas di RS Darurat Kostrad.
Ia pun harus segera menjalani tindakan operasi untuk menyembuhkan mulutnya tersebut. Sepanjang persiapan operasi, Rifia tak bisa berbicara apapun. Masih terlihat betapa sakit dan ia pun berusaha tegar menahannya.
Pentingnya Pshycological First Aid Bagi Anak-Anak Korban Gempa
Maya Sita Darlina, Koordinator Pshycological Dompet Dhuafa mengatakan setiap anak-anak yang menghadapi bencana gempa, pasti akan mengalami depresi. Tapi jangan sampai depresi tersebut membuat mereka menjadi trauma yang mendalam dan ketakutan berlebih.
“Untuk itu, kami, Dompet Dhuafa menghadirkan program Pshycological First Aid (PFA) untuk anak-anak korban gempa”, ujar Maya Sita Darlina, Koordinator Pshycological Dompet Dhuafa.
Di posko pengungsian, Dompet Dhuafa menghadirkan program PFA bersama aktivis kemanusiaan, khususnya yang memiliki latar belakang sebagai psikolog.
Program bermain bersama, belajar bersama, mendongeng, dan aktivitas bersama lainnya dilaksanakan untuk mengalihkan ketakutan, kekhawatiran, dan depresi anak-anak.
“Jangan sampai mereka tidak ada aktivitas di pengungsian hingga akhirnya pikiran dan perasaanya mengarah pada hal yang negatif”, tambah Maya Sita.
Rifia bukan satu-satunya anak yang menjadi korban akibat gempa. Masih ada anak-anak lain yang butuh bantuan kita baik dukungan moral dan kesembuhan fisik karena tertimpa reruntuhan bangunan. Hingga saat ini, anak-anak korban gempa masih berada di pengungsian dan belum bisa kembali beraktivitas normal seperti bersekolah dan tinggal di rumahnya yang telah hancur. (jwt/rilisDD)