ChanelMuslim.com- Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI, menyampaikan klarifikasi soal informasi yang beredar seputar UU Cipta Kerja. Sejumlah informasi tersebut disebut Kemkominfo sebagai hoaks.
Namun, pihak serikat buruh yang diwakili Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menanggapi dengan pandangan yang berbeda. Melalui Presidennya, Said Iqbal, KSPI meluruskan apa yang disebut hoaks oleh Menteri Kemkominfo, Johnny Gerald Plate.
Berikut ini diskusi dari dua pandangan yang berbeda tersebut. Diskusi tentang hoaks dan fakta seputar UU Ciptaker tersebut ditayangkan KompasTV, Kamis (8/10/2020 malam dan dimuat dalam kompas.com edisi Jumat (9/10).
- Benarkah uang pesangon akan dikurangi?
Menurut Kemkominfo pekerja yang di-PHK wajib diberi pesangon (Pasal 156) dan pekerja yang di-PHK akan menerima jaminan sosial JKP (Pasal 46D). Informasi soal pesangon yang turun dari 32 kali menjadi 25 kali upah namun ini dipastikan Kemkominfo adalah informasi yang salah. Menurut Kemkominfo soal pesangon ini bukan nilainya yang berkurang melainkan manfaat yang diterima pekerja akan lebih banyak. Seperti akan adanya penggantian hak dan JKP.
Sementara itu menurut Presiden KSPI Said Iqbal, dalam UU Cipta Kerja uang pesangon dikurangi. "Bahkan hal ini diakui sendiri oleh Pemerintah dan DPR, jika uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi 25 kali," ujarnya.
Iqbal mengatakan hal itu terdiri atas 19 kali dibayar pengusaha dan 6 kali melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan. "Lagipula masih belum jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan hal ini dalam omnibus law. Di mana bisa saja besarnya hanya sekian ratus ribu selama 6 kali," katanya.
KSPI berpandangan, ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. "Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh," ungkapnya.
- Benarkah UMP, UMK, UMSK, dan UMSP dihapus?
Menurut Kemkominfo, soal ketentuan upah minimun kabupaten/kota yang dihapus dipastikan adalah hoaks. Sebab gubernur tetap diwajibkan untuk menetapkan upah minimum, baik provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, menurut Kemkominfo UMK menyesuaikan kondisi ekonomi dan UMK harus lebih tinggi daripada UMP.
Sementara itu Said mengatakan, dalam UU Cipta Kerja Upah Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) dihapus. Sedangkan untuk UMK ada persyaratan. Menurut Said, dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotif (seperti Toyota, Astra, dan lainnya) atau sektor pertambangan (seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain), bisa saja nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.
"Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," kata Said.
Selain itu menurut Said, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian oleh pemerintah. "Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat," ungkapnya.
Said mengatakan, dalam UU Cipta Kerja yang wajib ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Adapun yang diinginkan buruh adalah UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).
- Benarkah upah buruh dihitung per jam?
Mengenai informasi yang beredar soal waktu kerja yang eksploitatif juga dipastikan hoaks. Kemkominfo menjelaskan waktu kerja tetap sesuai dengan ketentuan sebelumnya. Disebutkan bahwa menurut Pasal 77, ada opsi waktu kerja yang diatur, yaitu sebagai berikut: 7 jam/hari dan 40 jam/minggu, 6 hari kerja/minggu, atau 8 jam/hari dan 40 jam/minggu, 5 hari kerja/minggu.
Sementara itu menurut Said, aturan dalam omnibus law (tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003) memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.
"Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media dengan mengetik 'pemerintah akan terapkan upah per jam' di google untuk melihat beritanya," katanya. Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam Ommibus Law UU Cipta kerja, bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan.
- Benarkah hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi?
Informasi yang beredar terkait pasal yang menghilangkan hak cuti pekerja dinyatakan sebagai informasi bohong oleh Kemkominfo. Pemerintah memastikan perusahaan wajib memberikan waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Soal cuti kerja itu menurut Johnny ada di Pasal 89, ayat 1.
Namun menurut Said, cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha atau perusahaan, sehingga berpotensi hilang. Said mengatakan dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama 6 (enam) tahun.
"Sedangkan dalam omnibus law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha," kata Said. Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak mengambil cuti.
"Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong, karena pengusaha akan memaksa secara halus buruh perempuan tidak mengambil cuti haid dengan menakut-nakuti upahnya akan dipotong," ungkapnya. Adapun permintaan buruh adalah, semua hak cuti buruh dikembalikan sebagaimana yang diatur dalam UU 13 tahun 2003.
- Benarkah outsourcing di semua jenis industri dan dengan kontrak seumur hidup?
Informasi soal outsourcing yang diterapkan untuk semua pekerjaan juga dipastikan Kemkominfo adalah berita bohong. Menurut Kemkominfo faktanya UU Cipta Kerja mengharuskan perjanjian kerja outsourcing mencantumkan perlindungan hak-hak pekerja dengan tetap memperoleh jaminan sosial pekerja. Mengenai pekerja outsourcing yang memperoleh hak sama diatur di Pasal 66, ayat 2.
Sedangkan menurut Said, faktanya adalah outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali. Dia mengungkapkan, dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 outsourcing harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
"Tetapi di dalam omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan," tutur Said.
Fakta yang lain menurutnya, dalam UU 13 Tahun 2003, outsouring hanya dibatasi di 5 jenis pekerjaan. Sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1) dijelaskan bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Hal itu dikecualikan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
"Tetapi dalam omnibus law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing. Di sini akan terjadi perbudakan modern," katanya.
Said menjelaskan, di seluruh dunia penggunaan outsourcing lazim dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi modern slavery. Misalnya di Perancis, hanya boleh untuk 13 jenis pekerjaan yang menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur hidup. Begitu pula di banyak negara industri lainnya. Di Indonesia berdasarkan UU 13 Tahun 2003 karyawan outsourcing hanya boleh digunakan untuk 5 jenis pekerjaan.
"Negara harus hadir melindungi rakyatnya agar tidak terjadi perdagangan tenaga manusia melalui agen outsourcing," kata Said. Menurutnya, ketika outsourcing dibebaskan berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia. Hal itu menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
Tahun 2020 jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Adapun permintaan KSPI adalah meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup atau kembali sesuai UU 13 Tahun 2003.
- Benarkah status karyawan tetap akan dihilangkan?
Menurut Kemkominfo di Pasal 89 disebutkan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Sehingga informasi mengenai status pekerja kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak adalah hoaks. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat menurut Kominfo.
Menanggapi hal itu Said mengatakan, dalam UU Cipta Kerja karyawan kontrak tidak lagi mempunyai batasan waktu. "Sebagaimana bisa kita lihat di dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (PWKT) harus diberlakukan. Sehingga bisa saja terjadi PWKT seumur hidup," kata Said.
Menurut Said, jika hal itu diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan atau no job security. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja. Menurut data hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba Jerman FES di tiga propinsi, yaitu Jabar, Jatim, dan Kepulauan Riau, jumlah karyawan kontrak dan outsourcing adalah sebesar 60 persen hingga 75 persen. Mereka terdiri atas pekerja tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial.
Adapun permintaan KSPI adalah tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PWKT, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.
- Benarkah Tenaga Kerja Asing bebas masuk?
Kemkominfo menegaskan, tidak benar bahwa UU Cipta Kerja mempermudah masuknya TKA. Menurut Pasal 89 TKA wajib diverifikasi oleh pemerintah pusat.
Sedangkan menurut Said, faktanya dalam omnibus law menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin. Di dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Tetapi dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya. "Jelas hal ini akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk," ungkap Said. Adapun permintaan buruh adalah mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003.
- Apakah perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak?
Kemkominfo tidak menyebutkan soal ini. Sementara itu Said mengatakan perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak dalam omnibus law tidak lagi dikategorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.
Hal ini, menurutnya karena omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
"Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlansung, PHK akan semakin mudah," kata Said.
Selain itu, Omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; (huruf i) pekerja/buruh mangkir. Padahal sebelumnya, menurut Said, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, menurut said, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.
Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari). Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turut dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis. Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengenai PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003. (Mh)