Chanelmuslim.com- Jalan menuju Pilkada DKI 2017 kian panas dan sensitif. Jika calon pasangan cagub akhirnya hanya dua: Ahok versus Sandiaga, maka pertarungan ideologis tak mungkin terhindarkan: sekuler versus Islam.
Aroma pertarungan ideologis ini sebenarnya sudah mulai kentara ketika koalisi partai yang terbangun mengkristal pada titik beku ideologis di masing-masing calon. Yaitu, kubu Ahok yang didukung oleh partai-partai yang tidak berbasis Islam seperti Hanura, Nasdem, Golkar. Dan, ditambah lagi kekentalannya dengan masuknya PDIP di kubu ini.
Sementara, kubu Sandiaga yang diusung Gerindra seperti mendapat ‘berkah’ ketika partai-partai berbasis Islam tak punya pilihan lain kecuali menggolkan yang bukan Ahok. Satu per satu, partai-partai Islam kian merapat ke kubu ini. Antara lain, PKS, PKB, dan tak lama lagi PPP dan PAN.
Inilah mungkin dalam sejarah ibukota Indonesia era reformasi, Pilkada yang dilakukan secara demokratis akhirnya mengkristal pada dua kubu ini dan bertemu pada satu judul pertarungan: sekuler versus Islam.
Jika ini yang akan terjadi, ajang pilkada akan sangat sensitif, dinamikanya bukan pada adu program dan gagasan, melainkan bisa terjebak pada hal yang lebih mendasar: ideologi dan agama.
Nilai sensitif dari pertarungan model ini adalah orang atau kelompok akan mengenyampingkan hal-hal yang rasional, dan hanyut dalam suasana emosional. Suasana ini sudah kian terasa ketika tokoh di dua kubu masing-masing melemparkan pernyataan yang sensitif: sara (suku agama, dan ras).
Gong dari PDIP
Proses dan dinamika pilkada Jakarta yang berjalan selama ini bisa dibilang normal, tak berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Masing-masing calon muncul dengan gagasan, ide, dan strategi perubahan untuk menjadi daerah yang lebih baik.
Bahkan, ketika Ahok diusung oleh tiga partai seperti Hanura, Nasdem, dan Golkar pun suasana normal ini masih terasa. Walaupun, para tokoh Islam Jakarta sudah bisa membaca kemana arah dinamika itu berjalan, tapi publik secara umum masih menilai wajar.
Hal itu karena partai yang bisa dianggap kartu kunci pembentuk warna pertarungan: normal atau ideologis, belum menunjukkan sikap. Bahkan saat itu, seperti yang juga diharapkan kubu Sandiaga, besar kemungkinan terjalinnya koalisi besar “Lawan Ahok” dengan masuknya PDIP melalui calon kuatnya, Tri Risma Harini.
Jika itu yang terjadi, akan muncul suasana cair dari kubu yang siap melawan Ahok dengan sosok PDIP yang selama ini memang dikenal sekuler.
Secara strategis, jika hal ini yang diambil PDIP, akan memberikan nilai plus untuk PDIP di mata partai-partai berbasis Islam. Setidaknya, publik Jakarta yang 85,36 persen muslim tidak lagi memposisikan PDIP sebagai partai lawan, tapi mitra untuk perubahan.
Sebagai catatan, organisasi massa yang dibangun semasa mendiang Taufik Kiemas dengan nama Baitul Muslimin Indonesia sebagai salah satu wajah lain dari PDIP ingin menguatkan posisi PDIP sebagai kawan di mata umat Islam secara keseluruhan.
Sosok Tri Risma yang tampil dengan jilbab pun seperti mengalirkan energi baru untuk PDIP di mata partai-partai Islam. Selain tentunya, integritas dan kredibilitas Risma yang diakui baik semua kalangan.
Bahkan, sebuah survei pun menyatakan bahwa pasangan Risma dan Sandiaga bisa mengungguli calon petahana, Ahok yang berpasangan dengan siapa pun.
Pada titik ini, sejarah mencatat bahwa PDIP yang berperan sebagai partai utama pemerintah dan mempunyai kepentingan besar dalam stabilitas politik dan keamanan, khususnya ibukota, tidak bisa memainkan peran yang bijak dalam konteks “pertarungan” kubu di Pilkada DKI 2017.
Justru, masuknya PDIP dalam barisan pendukung Ahok, selain menguatkan stigma publik terhadap PDIP yang anti Islam, juga meleburkan apa yang sudah dibangun tokohnya, mendiang Taufik Kiemas, ketika sukses membangun ormas Baitul Muslimin Indonesia.
Ahok VS Sandiaga, Sekuler VS Islam
Hajatan Pilkada DKI Jakarta memang masih lima bulan lagi. Masih banyak kemungkinan adanya perubahan-perubahan langkah di masing-masing kubu untuk mencairkan suasana pertarungan, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa Pilkada Jakarta semestinya pertarungan ide dan gagasan, bukan agama dan hal sara lainnya.
Namun, jika calon pasangan yang “bertempur” mengkristal pada dua calon ini dengan kubu pendukung seperti saat ini, tak bisa lagi dipungkiri potensi pertarungan sekuler dan Islam akan kian kentara.
Semua kekuatan politik akan mengkristal pada dua kubu ini: sekuler dan Islam. Dan ujungnya, pernyataan-pernyataan sara yang sangat sensitif memunculkan konflik fisik berdarah, tak lagi terhindarkan.
Perang pernyataan antara Ruhut Sitompul dan Amien Rais sebagai contoh yang sudah terjadi, adalah sebagian kecil dari perang pernyataan sensitif yang akan muncul berikutnya. Padahal, di belakang dua tokoh ini terdapat jutaan massa yang siap ambil sikap dan langkah.
Di tataran akar rumput, masyarakat Jakarta saat ini mulai memetakkan mana kawan dan mana lawan. Dan peta itu begitu sederhana dalam kacamata awam akar rumput. Yaitu, mana yang Islam dan mana yang bukan. Mana yang sekuler, dan mana yang muslim.
Pertarungan ini jauh berbeda dengan yang pernah terjadi di Pilpres lalu, antara Jokowi dan Prabowo. Selain karena Jokowi muslim, calon wakil presidennya adalah Jusuf Kalla yang sudah dikenal dekat dengan ormas Islam.
Inilah pesta demokrasi yang paling rawan dalam sejarah Ibukota Jakarta: pertarungan sekuler lawan Islam. Bukan, pertarungan ide dan gagasan menuju Jakarta yang jauh lebih baik dari saat ini. (mh/foto:korannonstop )