Penulis: Sapto Waluyo
(Sosiolog dan Pendiri Center for Indonesian Reform)
SETELAH pudarnya pesona Roy Citayam dan Bonge yang memperkenalkan SCBD (Sawangan, Citayam, Gojong Gede dan Depok) sebagai subkultur alternatif di ruang terbuka Jakarta, maka jagat media sosial dihebohkan dengan tampilnya Fajar Sadboy. Sesuai namanya, remaja berusia 15 tahun itu menampilkan wajah sedih dan memelas karena patah hati ditinggal pacarya.
Namanya mulai mencuat pada akhir tahun 2022, ketika tayangan singkat di platform TikTok menjadi rekomendasi FYP (For Your Page). “Dari awal Oktober, saya chat cuman di-read saja. Cinta memang gak selamanya indah tapi seenggaknya saya punya perjuangan yang seharusnya dihargai,” ujar remaja bernama asli Fajar Labatjo. Video itu dikutip akun @dagelan_tiktok pada Selasa (27 Desember 2022) menjadi viral. Seakan mewarnai akhir tahun yang kelabu.
Sosok Fajar yang polos dan memelas tak hanya meriuhkan TikTok, tetapi juga Instargam, Twitter hingga Facebook. Fajar berasal dari Desa Sumawa, Kabupaten Bone Bolango, sekitar 10 kilometer dari kota Gorontalo. Ia mengaku anak nomor tiga dari empat bersaudara. Dalam dialognya dengan Denny Cagur, Fajar menyatakan terus terang bahwa di antara empat bersaudara itu, yang paling tua adalah ayahnya. Karuan saja, DC bengong dan penasaran, lalu bertanya ulang: “Fajar nomor tiga dari empat bersaudara. Punya kakak dan adik. Saudara yang paling tua siapa?”
Fajar dengan tulus dan yakin menjawab tanpa ragu: “Bapak saya”. Pemirsa tertawa, dalam hati mungkin mencibir keluguan atau ketidak-nyambungan jawaban Fajar. Percakapan Fajar-Denny itu menjadi trending topic di Twitter (21.400 tweet), sedangkan nama Denny Cagur menjangkau 5.141 tweet. Selama berhari-hari netizen digemparkan oleh kepolosan (sebagian orang mempersepsinya sebagai ‘kebodohan’ remaja dari Gorontalo). Hingga seorang da’i kondang menyesalkan munculnya sosok remaja yang mempermalukan Provinsi Gorontalo.
Ayah Fajar, Erol Labatjo, kemudian juga diundang Denny untuk tampil di podcast, Pertanyaan yang sama diajukan tentang silsilah keluarga dan kakak-adik dari Fajar. Ketika ditanya, siapa yang paling tua dalam keluarga, urra, ternyata jawabannya persis: “Saya (bapak).” Rupanya, dalam pemahaman masyarakat Gorontalo, saudara yang paling tua dalam rumah itu, termasuk dihitung posisi sang ayah. Kalau ada kakek/nenek, mungkin termasuk dihitung juga. Perlu riset langsung ke lapangan untuk mengeceknya. Yang jelas, Fajar “tidak bodoh” dan terbukti jujur.
Bila Roy dan Bonge dapat dibaca, dalam perspektif sosiologis, menawarkan narasi tandingan atas narasi dominan (grand narrative): Citayam Fashion Week (CFW) versus Paris Fashion Week (PFW) atau gelar busana dunia lain yang menipu orang-orang kaya di kota. Maka, Fajar Sadboy dapat dijelaskan dari perspektif teori looking-glass self (cermin diri) yang pernah diuraikan Charles Horton Cooley. Konsep diri menurut Cooley seperti seseorang yang sedang berada di depan cermin kaca, maka tampilan yang muncul itu bisa mengesankan atau mengecewakan. Hal itu akan menimbulkan penilaian dalam benak masing-masing. Lalu, tiap orang akan menata dirinya, berganti pakaian atau memakai riasan, agar tampil lebih menarik. Biasanya seseorang akan meminta saran dan pendapat keluarga atau rekannya tentang tampilan yang paling elegan.
Cermin dalam kehidupan nyata itu adalah masyarakat atau komunitas dimana kita berinteraksi. Perilaku manusia (social identity) biasanya mengikuti aturan, nilai, dan norma dalam masyarakat. Norma dan nilai yang diterapkan dalam masyarakat akan membantu seseorang dalam mengenal dirinya dan sekaligus memproyeksikan peran dalam lingkungan sosialnya. Cooley adalah sosiolog berkebangsaan Amerika Serikat, lahir pada 17 Agustus 1864 di Ann Arbor, Michigan, dan meninggal di daerah yang sama pada 8 Mei 1929. Ia merupakan putra seorang hakim Mahkamah Agung Michigan, Thomas McIntyre Cooley.
Cooley terpengaruh aliran romantisme yang mendambakan kehidupan bersama, rukun dan damai yang biasanya wujud dalam masyarakat tradisional. Ia melihat masyarakat modern, akibat revolusi industri dan berkembangnya kapitalisme, mudah goyah dan tak kuat memegang norma-norma sehingga sulit mencapai kehidupan yang rukun dan damai. Untuk itu diperlukan semacam patokan atau rujukan nilai sebagai cermin. Beberapa karya Cooley, antara lain: Human Nature and Social Order (3 Jilid, 1902), Social Organization (1909), dan Social Process (1918).
Hubungan individu dan masyarakat merupakan interaksi yang saling mengisi. Individu berkembang di tengah masyarakat, menjalani kehidupannya dengan nilai dan norma, serta menjadi bagian dari masyarakat yang bersifat dinamis. Sementara masyarakat memerlukan kumpulan individu yang saling bekerja sama agar dapat bertahan hidup dan saling mengatur atau menjaga diri, mungkin dari ancaman pihak lain.
Looking-Glass Self adalah konsep dimana seseorang bercermin pada masyarakat untuk menilai dirinya. Individu melihat dirinya sesuai dengan penilaian masyarakat melalui perkataan, tindakan, atau pandangan. Seperti cermin diri, seseorang dapat melihat dirinya dengan jelas mulai ciri fisik: rambut, wajah, tubuh, atau kaki, hingga aksesoris yang ada padanya. Sayang sekali, belum ada cermin yang bisa memantulkan karakter atau emosi seseorang secara instan. Teknologi artificial intelligent mungkin dapat membuat cermin ajaib suatu hari untuk menampilkan aspek psikologis dan emosi seseorang.
Individu dalam masyarakat juga akan mengidentifikasi dari mana dia berasal, bahasa, tata nilai dan norma yang ia patuhi, serta tujuan yag ingin dicapai. Ia mampu mengenali dirinya melalui pandangan masyarakat akan kecerdasannya (atau kebodohannya), menarik atau buruk tampilannya, kharisma (atau pengaruh negatif dirinya), dsb. Tanpa masyarakat, seseorang takkan mampu mengenali, mengidentifikasi, dan memahami dirinya dengan baik. Mungkin seseorang bisa melakukan refleksi atau meditasi sendirian, tapi bisa terjebak halusinasi atau disorientasi, bila tidak diuji dalam interaksi sosial.
Teori Cooley muncul sebelum berkembang pesatnya media massa (terutama televisi dan film layar) yang menimbulkan pencitraan kolektif. Belum masuk juga era internet dan dunia digital, ketika masyarakat (real world) digantikan oleh warga dunia maya (netizen atau warganet) dan tampilan fisik bisa digantikan avatar atau jatidiri virtual.
Fajar tampaknya sadar bahwa citra dirinya (self image) yang terbangun di dunia medsos sebagai remaja lugu dan cepat patah hati telah menjadi komoditas/atraksi baru. Dalam usia relatif muda, sangat terlihat upaya kerasnya untuk mengendalikan diri (self control), sambil sesekali menunjukkan jatidiri sebenarnya (genuine identity). Ironisnya, mayoritas influencer dewasa mengeksploitasi keluguan dan kerapuhan (fragility) serta kerentanan (vulnerability) dalam konteks percintaan (cinta monyet). Padahal, Fajar telah memperlihatkan potensi dan kecerdasannya dalam berbahasa (language intelligence) dan “kearifan” seorang remaja kampung, sekaligus kemampuan menghibur (entertaining).
Hubungan Fajar dengan rekan ceweknya, Putry Diyana Cahaya Akub alias Ayya bukan isu yang pantas dieksploitasi atau dikomersialisasi. Dari perlakuan terhadap Fajar, masyarakat juga bisa bercermin: apakah memang begitu karakter dan selera masyarakat Indonesia? Dalam konteks itu, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi penting untuk menakar: mana tayangan yang pantas dan tidak pantas untuk usia anak dan remaja?
Kehadiran Fajar di dunia medsos mirip dengan sosok lain yang lebih dewasa, yakni Livy Renata, yang berkarakter lugu: seorang gadis yang dibesarkan di mancanegara dan mulai belajar budaya Indonesia. Livy yang berkolaborasi dengan komika Nopek Novian tampaknya telah memilih keluguan yang dieksploitasi (exploited innocence or plainness) sebagai branding komersial. Itu sudah murni dagang, strategi marketing era medsos. Tetapi, untuk Fajar masih terbuka alternatif: pengembangan potensi karir dan pencarian jatidiri.
Tampilan Fajar dikritik banyak pihak, padahal orang dewasa juga mempraktekkan dramaturgi (seperti dirumuskan Erving Goffman) dalam kancah politik dan selebritis. Politisi dan selebritis bermain peran di depan panggung (front stage) yang berbeda dengan tampilan asli di belakang panggung (back stage). Hiprokisi politik dan manipulasi selebritas jelas lebih berbahaya daripada keluguan Fajar. Sudah banyak korbannya dalam kompetisi politik (tatkala seorang tokoh berwajah ndeso bisa jadi pemimpin negeri) maupun manipulasi ekonomi (fenomena crazy rich atawa sultan) yang merugikan banyak orang. Masyarakat menjadi korban dari kultur yang sakit, tapi dibingkai dengan argumentasi ekonomi kreatif.
Kabar terkini, ayah Fajar melarang anaknya untuk kembali ke Jakarta, setelah hampir sebulan memporak-porandakan algoritma trending medsos. Erol Labatjo ingin “menjaga nama baik keluarga”, suatu norma yang masih kuat tertanam di Gorontalo. Semoga Fajar bisa menemukan jalan untuk pengembangan potensi dirinya yang istimewa.
Ironi yang harus kita hadapi saat ini, Fajar atau Roy dan Bonge adalah remaja putus sekolah. Apakah sekolah sedemikian mahal ongkosnya, sehingga tidak mampu mengakomodasi dan menumbuhkan bakat-bakat besar? Ataukah justru sebaliknya, bakat anak dan remaja Indonesia menjadi lebih berkembang di luar lingkungan sekolah? Sekolah telah berubah menjadi penjara. Fenomena Fajar benar-benar menjadi cermin buram tentang kondisi masyarakat Indonesia kiwari. [Mh]