Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
Chanelmuslim.com- Kompetisi politik jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi DKI Jakarta semakin panas. Sejumlah tokoh tampil di media massa dan ruang publik untuk memperkuat daya tawar di hadapan parta-partai politik, karena satu-satunya jalur pencalonan kini hanya lewat parpol. Ada figur sudah lama dikenal, ada pula yang tetiba mencuat dan mencuri perhatian, sehingga diprediksi akan menjadi “kuda hitam” dalam pertarungan politik lokal yang berongkos Rp 650 miliar dan akan berdampak pada konstelasi nasional itu.
Posisi partai berkuasa (rulling party), PDIP, sangat penting karena menentukan format koalisi parpol yang akan terbentuk. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputeri, telah menetapkan Ketua DPD PDIP Jakarta yang baru, Adi Wijaya, menggantikan Bambang D.H. selaku Plh. Ketua DPD. Bambang dikenal anti-Gubernur petahana karena kebijakannya dinilai merugikan wong cilik, basis utama partai banteng. Dalam sebuah acara pemantapan kader PDIP, Bambang bahkan memimpin langsung yel-yel “Ahok pasti tumbang!”. Sikap tegas Bambang itu mungkin membuat petinggi PDIP terbelah, sehingga akhirnya dilakukan pergantian Ketua DPD. Tapi, Bambang tetap menegaskan sikapnya untuk membela aspirasi wong cilik dan berharap pimpinan PDIP tidak mengkhianati konstituen dengan mendukung Ahok.
Sikap politik PDIP tentang format koalisi dan kandidat Cagub/Cawagub DKI Jakarta memang masih menjadi teka-teki besar (enigma) hingga detik-detik terakhir pendaftaran calon (19-21 September 2016). Termasuk pergantian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga menjadi barter penetapan Ahok sebagai kandidat PDIP, memunculkan tanda tanya lebih besar. Sebelumnya, Ahok mengklaim telah mendapat restu Megawati, saat mampir ke kantor PDIP di sela acara peringatan hari Kemerdekaan RI. Tapi, klaim sepihak itu segera terbantahkan, karena menurut Sekjen PDIP, Ahok cuma disuguhi pempek Palembang. Megawati belum menentukan putusan.
Sambil menunggu sikap final PDIP dan partai-partai lain, maka perlu dianalisis kekuatan dan kelemahan semua kandidat yang tampil di kancah publik. Pimpinan parpol tentu juga melakukan SWOT Analysis terhadap kandidat yang akan mereka usung/dukung, sebagai dasar pengambilan putusan yang rasional dan akuntabel. Warga pemilih di Jakarta yang berjumlah 6.983.692 orang harus obyektif menimbang kapasitas bakal calon Kepala Daerah yang memimpin Ibukota RI lima tahun mendatang.
Sebelum melakukan analisis, kita perlu menetapkan beberapa parameter untuk mengukur Kekuatan (strength) dan Kelemahan (weakness) seluruh kandidat. Ada lima parameter penting, yaitu: 1) Dukungan Partai Politik, 2) Dukungan Finansial, 3) Dukungan dan Pengalaman Birokrasi, 4) Dukungan Basis Massa, dan 5) Citra Publik yang terekam dalam Media Massa.
Beberapa figur yang muncul sebagai bakal calon Gubernur (DKI-1) adalah Basuki Tjahaja Purnama selaku petahana yang sudah diusung oleh tiga parpol. Kemudian Sandiaga Shalahuddin Uno sebagai kandidat yang diajukan Partai Gerindra dan didukung PKS serta PKB. Nama Tri Rismaharini sangat gencar dilaungkan oleh beragam kelompok masyarakat sebagai antitesis dari Gubernur petahana, tapi PDIP sebagai partai yang menaunginya belum menetapkan sikap untuk menugaskan Risma dari Surabaya ke Jakarta. Jika Risma tak jadi berkompetisi di Jakarta, maka peluang Djarot Saiful Hidayat selaku Wakil Gubernur petahana akan lebih besar. Namun, sekali lagi putusan Megawati yang akan menentukan nasib Djarot: apakah akan maju sebagai kandidat DKI-1 atau mempertahankan duet kepemimpinan bersama Ahok? Figur lain yang tetap bertahan di bursa politik adalah Yusril Ihza Mahendra yang cukup dekat dengan basis pemilih Muslim.
Dari kelima kandidat itu, terlihat baru Basuki dan Sandi telah mengantongi tiket partai untuk maju Pilkada. Basuki diusung oleh Hanura, Nasdem dan Golkar; tetapi masih mengharapkan dukungan PDIP, karena Basuki tidak akan menang Pilkada tanpa dukungan PDIP. Elektabilitas Basuki sebenarnya tak pernah teruji, sebab saat Pilkada 2012 sebagian besar pemilih memberikan suara kepada Joko Widodo. Karena itu, Pilkada 2017 merupakan batu uji bagi Basuki, apakah benar elektabilitasnya cukup tinggi?
Dari berbagai survei terlihat, elektabilitas Basuki tertahan sebatas 35-40 persen, tak pernah lebih tinggi dari itu. Masuk akal, apabila Basuki membutuhkan dukungan penuh PDIP yang memiliki mesin politik solid dan basis massa luas.
Kekuatan Basuki terletak pada dukungan politik yang sudah kongkrit. Jika mendapat dukungan PDIP, kekuatan itu bertambah lagi dengan basis massa fanatik. Kekuatan finansial Basuki diakui tak terbatas (unlimited), meskipun publik mulai melihat efek negatif dari ketergantungan politisi kepada para pemodal besar. Kekuatan lain adalah jaringan birokrasi yang dikendalikannya.
Selama ini Basuki menjalankan management by fear and intimidation, agar semua bawahan tunduk pada kemauannya. Bila sudah ditetapkan dan memasuki masa kampanye, Basuki mungkin akan mengubah gaya kepemimpinannya menjadi persuasif. Bisa dipahami, mengapa Basuki menolak cuti kampanye dan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, sebab perlu momen untuk memperbaiki persepsi publik. Di situ kelemahan utama Basuki, yakni citra publik yang terus memburuk. Modal petahana yang besar telah tergerus secara signifikan dan bisa berakibat fatal, karena politik adalah seni mengelola persepsi dan ekspektasi publik.
Jika akhirnya ditetapkan PDIP untuk maju dalam Pilkada Jakarta, Risma memiliki semua faktor yang sulit tertandingi oleh petahana. Selain dukungan politik yang besar, karena sangat dicintai oleh basis massa wong cilik, maka citra positif Risma jauh melampaui kandidat manapun. Tentu saja Risma akan mendapat dukungan finansial memadai, walaupun berbeda jalur investasi politiknya dengan Basuki. Di kalangan birokrasi, Risma mungkin menghadapi sedikit resistensi, tapi pengalamannya sebagai Walikota Surabaya cukup untuk mengubah situasi.
Kekuatan Sandi terletak pada dukungan politik Gerindra dan PKS yang cukup solid, ditambah dengan PKB yang secara terbuka telah mendeklarasikan bakal calon Gubernur. Demokrat dan PAN juga berpeluang besar mendukung Sandi. Secara finansial, Sandi sebagai pengusaha tentu sudah mandiri dan akan mendapat respon positif dari para pemodal. Sekali lagi, jalur investasi politiknya mungkin berbeda dengan Basuki dan Risma. Modal Sandi yang dirintis sejak beberapa bulan lalu adalah citra positif sebagai pemimpin alternatif: muda, mandiri, visioner dan kosmopolitan. Citra itu sangat dekat dengan karakteristik generasi milennial yang merupakan mayoritas pemilih Jakarta.
Kelemahan Sandi adalah basis massa yang masih kurang di lapis akar rumput, karena lebih dikenal di kalangan elite menengah ke atas. Selain itu, pengalaman birokrasinya minim, karena berlatar belakang korporat swasta, tapi itu tak mengurangi komitmennya untuk pelayanan publik. Untuk itu, Sandi membutuhkan pasangan yang memiliki basis massa kongkrit dan jaringan/pengalaman birokrasi mumpuni.
Djarot berpeluang maju sebagai Cagub, apabila PDIP mengajukan calon mandiri dan pilihannya tidak membawa Risma keluar dari Jawa Timur. Kekuatan Djarot ialah dukungan politik dan birokrasi, namun kelemahannya lebih besar karena dicitrakan hanya menjadi pengekor dari petahana dan tidak mampu merangkul basis sosial yang dulu memilih Jokowi. Dalam hal ini, bisa dipahami salah satu pertimbangan Megawati: tak mengajukan Djarot sebagai Cagub DKI Jakarta sejak dini, dan cenderung mempertahankan duet Basuki-Djarot. Jika maju sendiri sebagai DKI-1, maka dukungan finansial untuk Djarot pun belum pasti.
Yusril tak memiliki modal dasar yang kuat, seperti dukungan politik dan basis massa kongkrit. Tapi, Yusril mengandalkan citra publiknya yang terus melesat karena melawan Basuki secara all out. Yusril menjadi advokat bagi kelompok masyarakat yang terzalimi dan terpinggirkan oleh Gubernur petahana. Berbekal citra positif itu Yusril berinteraksi dengan berbagai partai agar mendapat dukungan untuk maju.
Dari sejumlah nama tersebut, maka ada tiga kandidat yang berpeluang besar untuk menuju kursi DKI-1, yaitu: Basuki, Sandi dan Djarot. Dengan siapakah mereka akan berpasangan? Bagaimanakah formasi kandidat pemimpin Jakarta lima tahun ke depan? Ada beberapa nama yang layak diperhitungkan: Djarot (jika berpasangan dengan Basuki), Sandi (jika berpasangan dengan Djarot), kuda hitam Saefulllah (cocok berpasangn dengan Djarot atau Sandi), Yusril (hanya mungkin berpasangan dengan Risma, karena sulit menjadi nomor dua), dan pendatang baru Yoyok (berpasangan dengan Sandi). Kekuatan dan kelemahan Djarot, Sandi dan Yusril sudah dibahas.
Potensi Saefullah masih jarang diketahui publik. Padahal, putra asli Betawi kelahiran kampung Rorotan, Jakarta Utara itu merintis karir sebagai guru kemudian pengawas sekolah, hingga akhir akhirnya menjadi Kepala Dinas, Walikota Jakarta Pusat dan Sekretaris Daerah. Karir birokrasinya telah teruji dan rekam jejaknya cukup berintegritas. Saat menjabat Walikota Jakpus, Saefullah sukses membereskan parkir liar dan para pedagang kaki lima di Tanah Abang, sampai Gubernur Jokowi saat itu (2013) memujinya dalam rapat pimpinan di Balaikota DKI. Disamping itu, basis sosial Saefullah juga kuat sebagai Ketua PW NU DKI Jakarta. Saefullah terkenal sebagai birokrat yang mandiri secara ekonomi, tidak dikendalikan oleh cukong, bahkan sangat netral/profesional dalam hubungannya dengan Gubernur petahana. Beban utama Saefullah adalah meyakinkan partai politik untuk memberi kepercayaan kepada birokrat yang memiliki track record relatif bersih dan basis massa kuat.
Beban lain, citra sebagai birokrat akan dikaitkan dengan posisi Gubernur petahana yang sedang dirundung banyak masalah seperti kasus dugaan suap reklamasi, pembelian lahan RS Sumber Waras dan lahan di Cengkareng. Tapi, Saefullah berani menjamin: tidak tersangkut dengan kasus-kasus tersebut.
Sosok terakhir yang muncul dalam bursa adalah Yoyok R. Sudibyo (Bupati Batang, Jawa Tengah). Sebagaimana Yusril, figur Yoyok mengandalkan citra positif yang dibentuk media massa. Namun, dukungan politiknya masih lemah dan basis massanya pun belum terbentuk di Jakarta. Yoyok mungkin menyasar komunitas Jawa yang menjadi segmen terbesar dari pemilih Jakarta, tapi tak mudah warga menerima pendatang baru. Pengalaman birokrasi Yoyok di Kabupaten Batang juga belum meyakinkan untuk menangani kompleksitas masalah di Jakarta.
Dari sejumlah kandidat DKI-2 yang berpotensi paling besar adalah Saefullah karena bisa berpasangan dengan kandidat DKI-1 siapa saja dan memiliki kompetensi plus basis massa untuk memperbesar peluang kemenangan Pilkada. Para penentu kebijakan di Partai Politik tentu memiliki informasi yang cukup untuk menetapkan pilihan kandidat.
Pasangan manakah yang akhirnya diusung dan didukung oleh partai-partai politik? Kita tunggu kebijakan pimpinan parpol dalam menyerap aspirasi warga. Pemilih yang kritis harus segera bersuara, agar sikap rakyat terdengar jelas oleh para elite. Jangan pasif dan diam, sehingga nanti dikecewakan oleh pilihan elite yang transaksional. Sebagaimana surat terbuka (19 Agustus 2016) dari 38 aktivis dan akademisi yang tergabung dalam Forum Kampung Kota ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Megawati, agar menolak pencalonan Ahok sebagai Gubernur periode mendatang. Barisan aktivis, yang antara lain dipelopori J.J. Rizal dan Nursyahbani Katjasungkana, itu menyodorkan data korban penggusuran yang dilakukan Ahok dan angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin besar di Jakarta. Karena itu, tidak ada basis moral dan ideologi bagi PDIP (sebagai penerus perjuangan Bung Karno) untuk mendukung Ahok.
“Suara rakyat adalah suara Tuhan,” begitu kalimat penutup dari surat yang menggemparkan itu. [Mh/foto:sapto]