ChanelMuslim.com – Diskusi RUU Ketahanan Keluarga digelar Bidang Perempuan PP KAMMI, dengan menghadirkan Dr.Hj. Netty Prasetyani, M.Si, selaku anggota komisi IX DPR RI. Agenda ini bertempat di kantor PP KAMMI, Jalan Cikoko Barat IV, Pancoran, Jakara Selatan.
Selain jajaran internal PP KAMMI, acara ini juga dihadiri oleh Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) serta beberapa perwakilan dari Pengurus Daerah di Jabodetabek. Melihat urgensi pembahasan, diskusi berjalan khidmat dan disambut antusias oleh beberapa penanggap dan penanya. Sebagai kelompok aktivis mahasiswa KAMMI mencoba untuk bersikap objektif dalam memandang isu RUU KK yang sedang diusung oleh sebagian partai Islam ini.
Anis Maryuni menyampaikan dalam pengantarnya, Bidang Peremouan PP KAMMI tidak serta merta akan berpihak mendukung RUU ini, mengingat pandangan-pandangan dari masyarakat luas pun, masih perlu diakomodir agar dapat memaksimalkan upaya kemashlahatan bagi masyarakat luas.
Ketua Bidang Perempuan PP KAMMI ini menambahkan, bahwa karakter masyarakat Indonesia hari ini tergolong dalam istilah civil disobedience, suatu kondisi dimana masyarakat cenderung sulit menerima aturan baik dari agamanya ataupun negaranya. Maka dalam pandangan Anis, diperlukan langkah yang cermat, serta penyikapan yang bijak dalam mengatur tatanan masyarakat. Terlebih isu keluarga yang sangat penting ini agar jangan sampai mal – treatment dengan keterlibatan negara yang terlalu jauh masuk ke dalam ruang-ruang private.
Sementara Bu Netty yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Pelayanan terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat, menyanggah pandangan publik perihal domestifikasi perempuan dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Ia memaparkan bahwa sesungguhnya RUU ini berangkat dari sebuah filosofi yang kuat, serta temuan data saat ia bergelut menangani kasus keluarga di daerah terpadat di Indonesia. Jawa Barat tercatat dihuni oleh 4,574 juta jiwa saat ditinggalkan Kang Aher, memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Hal tersebut diperkuat dengan kasus kekerasan seksual pada anak dengan faktor utama minimnya sosok orang dewasa yang mampu membimbing dan melindungi sang anak. Dalam catatan yang dimiliki BNP2TKI, ia mengungkapkan terdapat 55 kabupaten di Indonesia yang menjadi domain pekerja migran, 9 diantaranya merupakan kabupaten yang terdapat di Jawa Barat. Dari sinilah, pada Mei 2014 lalu ia menemukan kasus penyimpangan seksual pada anak usia 8 tahun, korban sodom yang menghasilkan korban berikutnya, akibat dari tidak terpenuhinya hak pengasuhan, yang tidak lain dipicu oleh kondisi keluarga pra sejahtera.
Pada awal pembahasan, Netty menegaskan bahwa RUU ini merupakan sebuah gagasan yang ditawarkan untuk disusun sebagai produk legislasi. Sangat wajar jika menuai pro dan kontra yang cukup tajam, “ini baru berupa draft awal, tetapi kadung muncul di publik. Bahkan belum masuk panja harmonisasi. Jadi prosesnya masih sangat panjang”, terang nya. Oleh karena itu, Netty mengakui bahwa pihak pengusung akan terus melakukan penyesuaian melalui panja harmonisasi di Baleg, serta mepertimbangkan masukan-masukan atau pandangan dari beberapa kelompok yang telah disampaikan baik secara lisan ataupun tulisan, “memang bukan sesuatu yang mudah, membahasakan filosofi menjadi legal drafting,” terang perempuan yang juga pernah menjadi ketua tim penggerak PKK Jawa Barat.
Itikad baik yang diusung oleh partai Islam ini bermaksud untuk mengangkat institusi keluarga sebagai basis kebijakan publik, “selama ini kita selalu menganggap persoalan keluarga ini penting, bahkan sangat penting, tapi belum ada produk kebijakan publik yang menjadikan keluarga sebagai basis,” imbuh aleg yang berasal dari Dapil Cirebon – Jawa Barat ini.
Hal ini kemudian disambut oleh perwakilan Aliansi Cerahkan Negeri, yang secara lugas mendukung RUU KK untuk disahkan sebagai UU. ACN yang diwakili oleh Ayu menganggap, inilah upaya yang paling mungkin dilakukan, dalam mewujudkan solusi ketahanan bangsa, “kami telah membaca full dan mendiskusikan sehingga lahir kesepakatan untuk mendukung. Diantara point dukungannya, pemerintah harus dipaksa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat” tegas nya. Selain Ayu, peserta diskusi lain juga tak luput memberi tanggapan dan pertanyaan, ada diantara mereka menyampaikan sejatinya RUU KK belum diperlukan oleh masyarakat Indonesia, dan sebagaimana pandangan kontra lainnya, ini cenderung meng-intervensi wilayah private.
Ada juga pertanyaan mengenai lembaga terdampak dari RUU ini, bagaimana nasib lembaga negara yang telah ada sebelumnya dan melakukan hal yang sama, contohnya BKKBN, KPAI dan lembaga serupa yang mengurusi persoalan Ketahanan Keluarga. Netty menyanggah, RUU ini tidak akan membentuk lembaga baru, melainkan akan terus mendorong dan memaksimalkan peran dari lembaga yang ada sebab menurut keyakinannya, masing-masing telah memiliki fungsi yang akan saling menguatkan.
Terakhir, Anis memberikan simpulan mengenai kerangka dinamis RUU Ketahanan Keluarga. Di pihak mereka yang pro, alasan kuat terletak pada pesona negara yang power full, mengukuhkan mandatory keluarga sebagai pelaku edukasi dasar, pemilik fungsi perlindungan, ekonomi dan moral; mengaktualisasikan peran pemerintah dalam meningkatkan kejahteraan keluarga; memperkuat relasi antara negara dan institusi keluarga; serta melindungi hak reproduksi perempuan. Adapun point rasionalisasi dari pihak yang kontra, beranggapan bahwa Negara melakukan stigmatisasi dengan melakukan profiling keluarga ideal; negara terlalu mencampuri dunia private; keluarga menjadi kaku dengan adanya pembagian peran; serta adanya domestifikasi perempuan dan pembebanan peran.[ah/rilis]