ChanelMuslim.com- Sejak awal kelahirannya, Indonesia sudah menjadi target utama imperialisme Barat untuk melanggengkan penjajahannya. Satu hal yang terbukti menjadi penghalang utamanya adalah Islam.
Perlahan tapi pasti, dari rezim ke rezim, tidak ada proses pembangunan negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini tanpa mengikis nilai-nilai Islam dari umatnya. Hasilnya, pembangunan hanya berkutat pada pemuasan ambisi rezim dan kelompoknya.
Hal tersebut bisa dilihat begitu jelas. Mulai dari minimnya peran syariat Islam dalam hukum di Indonesia yang masih dominan dengan produk Belanda, porsi anggaran negara untuk keislaman, kian terpinggirkannya pendidikan Islam dalam kurikulum sekolah, dan gencarnya media massa yang secara sistematis mencabut akar budaya Indonesia yang Islami.
Masih begitu banyak hal lain yang secara terus-menerus berlangsung agar bangsa Indonesia tidak mengenal karakter aslinya: muslim, akhlak, dan kemandirian.
Ada upaya sistematis untuk mengidentikan Indonesia dengan budaya dan jatidiri masyarakat jauh sebelum kemerdekaan. Padahal, Islamlah yang menggusur budaya dan jatidiri primitif itu untuk terkapitalisasi menjadi energi perubahan sebagai entitas sebuah bangsa dan negara.
Tanpa Islam, Indonesia hanya serpihan kerajaan-kerajaan kecil yang saling menghancurkan. Tanpa Islam, budaya Indonesia hanya penyembahan terhadap raja dan berhala yang tidak berguna.
Tanpa Islam, tidak ada Indonesia. Karena, masing-masing suku, daerah, pulau, akan saling memisahkan diri satu sama lain. Pemersatu bangsa ini hanya satu: Islam. Tidak heran jika Papua selalu merasa terjajah, karena Islam tidak menjadi identitas dan budaya mereka. Ketika mereka terzhalimi secara ekonomi dan politik, ikatan emosional apalagi yang menyatukan Papua dengan Indonesia.
Perhatikanlah, daerah yang begitu kental dengan budaya Islamnya, merupakan daerah yang lebih maju dari yang lain. Mulai dari sisi ekonomi, budaya, pendidikan, dan lainnya. Sebaliknya, daerah yang kurang mendapat sentuhan Islam, merupakan daerah terbelakang, primitif, dan sasaran empuk eksploitasi asing.
Sayangnya, pergantian rezim selalu mempunyai satu doktrin: pisahkan Islam dari Indonesia. Padahal, ini sama saja dengan doktrin: pisahkan kuda dari penunggangnya.
Islam Masih Karakter dan Budaya Indonesia
Sedemikian banyaknya upaya sistematis menjauhkan Islam dari bangsa Indonesia, ternyata tidak memberikan hasil yang signifikan. Walaupun secara ekonomi umat Islam tak berdaya karena terpinggirkan, tapi jatidiri Indonesia masih ada dalam dada mereka.
Karena itu, teramat bodoh jika ada pihak yang mengajarkan umat Islam dengan makna toleransi dan kebhinekaan. Perhatikanlah, betapa toleransinya umat Islam sebagai pemilik saham terbesar republik ini, tapi mendapatkan jatah kue ekonomi yang sangat minim.
Dunia mungkin tidak akan percaya, ada kebijakan sangat strategis tentang data penduduk yang dikelola asing: Amerika. Program E KTP yang sedang diusut ini, menunjukkan bahwa 140 juta data orang Indonesia dikelola oleh perusahaan Amerika. Sudah dapat data strategis, dapat uang pula.
Masih banyak hal lain. Mulai dari kebijakan investasi asing, pengelolaan sumber daya alam Indonesia, dan sebagainya.
Sungguh pun begitu, karakter Indonesia yang identik dengan Islam masih tetap terpelihara: ta’awun atau gotong royong, tasamuh atau toleransi dengan pihak yang berbeda, shadaqah atau berbagi, tawashaw atau saling menasihati dan memberikan pengingatan, dan sebagainya.
Semua terus bergulir dari masjid ke masjid, dari majelis taklim ke majelis taklim, dari kampung ke kampung, dari momen ibadah ke momen ibadah yang lain. Dan sebagainya.
Hal inilah yang sulit tersentuh para setan berbentuk manusia. Walaupun mereka mempunyai kuasa, tapi mereka terhalang oleh kekuatan lain yang tidak mungkin mereka kalahkan: Allah swt.
Jatidiri dan budaya Indonesia yang sebenarnya akan muncul dan tampak ke permukaan, manakala simbol dan nilai-nila Islam dilecehkan.
Kalau saja Indonesia dibangun sebagai Indonesia yang sebenarnya: identik dengan keislamannya, niscaya ia akan tegak menjadi kekuatan baru yang sangat ditakuti kekuatan imperialisme mana pun: baik yang bule maupun yang sipit.
Inilai makna dari pekik suara gemuruh yang membahana di Monas pada aksi 212 lalu: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, merdeka! (mh/foto:viva.co.id )
?????????? ?????????????? ????? ??????? ??????????????? ????????? ??????? ???????? ?????? ?????? ?????????????
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”.