ChanelMuslim.com— Adab Membawa Anak Bertamu, oleh: Fitra Wilis Masril
Pada suatu hari, karena macet, kami memutar balik perjalanan, kami arahkan mobil ke sebuah perumahan untuk numpang muter saja, lalu tanpa sengaja, ternyata kami melewati rumah seorang teman lama suami. Dan dia meminta kami mampir.
Kami serombongan dengan 4 anak. Menuju ruang tamunya yang mungil dan bersih.
Singkat cerita, di sana, juga ada tamu yang baru datang. Sebuah keluarga -ayah, ibu dan 1 anak 7 tahunan-. Si anak langsung membuka toples kue nastar, membawa toples ke pangkuannya, dan lalu asyik makan. Kita panggil saja si anak “Boy” yaa. Badannya bongsor.
Nastar itu terlihat “mahal”. Bentuknya seperti buah jambu. Cantik banget.
Hampir setengah toples berpindah ke perut Boy. Sang Ayah sibuk mengobrol dengan tuan rumah, sang ibu sibuk dengan HP. Aku mengajak anak-anak ke teras luar yang adem, aku takut menjadi ‘tertuduh’ terlibat menghabiskan 1 toples kue mahal.
Baca Juga: Adab Berdoa Agar Terkabul
Adab Membawa Anak Bertamu
Nyonya rumah, santun berkata “namanya siapa Sayang? toplesnya taro sini aja yaa…biar nggak jatuh”, nyonya berusaha ‘meminta’ toples kaca itu agar dikembalikan ke meja. Menurutku ini ‘kode’ kalo dia keberatan dengan adab si Boy. Boy menolak. Tangannya tetap mengeruk kue yang sudah habis nyaris separuh. Mereka juga enggak akrab kayaknya, buktinya nyonya rumah saja enggak tahu nama si anak.
“Dibagi dong teman-temannya, itu belum kebagian,” kata si nyonya lagi menunjuk ke anak-anakku. “Nggak mau!” jawab Boy.
Lama kemudian.
“Mau coba ini?” Nyonya rumah membuka toples astor. Sepertinya berusaha menawarkan alternatif agar enggak hanya nastar jambu yang dimakan si Boy.
“Nggak mau,” jawab si Boy lagi, berteriak.
“Boy suka banget sama nastar yaa,” tutur nyonya rumah, suaranya tenang.
“Oiya… bisa abis setoples dia,” sahut sang ayah. Si ibu mendongak sedikit dari HP. “Dia sukanya nastar sama sagu keju, bisa setoples sekali duduk abis, tapi kalo kastengel, sebiji pun dia lepeh, enggak suka,” kata si ibu tersenyum, lalu kembali ke HP.
Entah mengapa…aku menjadi enggak nyaman. Pertama, aku lihat di meja ini hanya ada 4 toples kue yang terlihat baru saja dibuka. Dan kalau 1 tamu menghabiskan 1 toples kue, bagaimana tamu-tamu berikutnya?
Dia enggak mengadakan open house besar-besaran. Bisa jadi stok kuenya juga enggak banyak. Kehidupan mereka ‘terlihat’ juga enggak berlebihan.
Selain itu, tahu kan ya semahal apa harga kue kering lebaran? Setoples itu bisa jadi 90 ribuan. Belum tentu masih ada stok di belakang.
Aku beberapa kali menangkap mata nyonya rumah gelisah melirik ke si Boy. Dia berusaha ramah maksimal dengan membukakan astor, keripik pisang coklat dan kerupuk udang. Tapi Boy enggak peduli, pun ayah ibunya, nastar itu sekarang bersisa sepertiga. Aku enggak tahu kelanjutannya karena kami pamit duluan.
Menurutku, sangat penting mengajarkan adab bertamu pada anak-anak. Apa yang boleh dan tak boleh.
Di rumah sendiri, anak-anak boleh saja memakan apa saja sampai habis, tapi kalau di rumah orang enggak boleh begitu.
Tamu orang rumah, enggak hanya kita saja. Ini penting dikasih tahu ke anak-anak agar mereka enggak egois.
Harga kue itu mahal. Enggak semua orang bisa bikin kue. Banyak yang beli. Kalo dihitung sebutir nastar itu harganya bisa 3 ribu. Jadi bisa ajarkan anak-anak kalau makan kue di rumah orang, enggak boleh banyak. Maksimal 2 atau 3 butir saja per jenis kue. Kalau bisa pun hanya makan maksimal 2 jenis kue saja.
Nah, kadang anak enggak patuh, jadi ‘rakus’ saat di rumah orang, bisa jadi karena mereka memang lapar. Jadi penting banget memastikan perut anak sudah terisi saat mau bertamu ke rumah orang, antisipasi kemacetan dengan bawa cemilan. Jadi sampai di rumah orang, anak tidak dalam kondisi lapar. Anak-anak lebih gampang ‘ditaklukkan’ saat mereka tidak lapar. Percayalah!
Saat ke rumah nenek atau Bude atau Tante, atau saudara yang bener-bener dekat dan akrab, yaitu saat kedatangan kita memang sangat mereka nantikan dan mereka memang udah prepare banget menyambut kita, tentu boleh agak lentur. Misal saat kami ke rumah kakak kandungku. Memang hanya kami saudara kandung mereka di kota ini. Jadi bolehlah agak santai, makan ketupat nambah, pakai rendang, opor, telur, kue-kue, dll.
Tapi kalo bertamu ke rumah orang, jelas harus ada ADAB yang dikenalkan ke anak. Kalay anak belum mau mengerti, maka jadilah orangtua yang tahu diri.
Misal, bertamu jangan kelamaan, ajak anak mengobrol, lihat udara luar, atau berinteraksi dengan tamu lain. Anak-anak kan gampang akrab sama teman baru, jadi ajak main sama teman baru sehingga si anak enggak melulu fokus ke menghabiskan kue tuan rumah. Saat bertamu pun, cobalah paksakan diri untuk TIDAK MELIHAT HP. Fokuslah pada hidup yang nyata, jangan malah mengurus yang maya tapi mengabaikan yang nyata.
Begitu pun saat anak ke toilet, kalau masih kecil, walaupun anak sudah biasa ke toilet sendiri di rumah, saat di rumah orang, tetap temenin.
Toilet kan beda-beda. Aku pernah menemukan anak yang enggak menyiram setelah pakai toilet, sementara ibunya main HP.
Aku suruh siram, “enggak ada gayung,” jawab si anak.
Kemungkinan di rumah dia biasa pakai toilet jongkok dengan siram manual. Jadi saat menemukan toilet duduk dengan pencetan siraman, dia enggak ngerti. Jadilah dia meninggalkan toilet dengan kondisi kotor.
Memang yaa…saat bertamu ke rumah orang membawa anak-anak, kita harus selalu ‘menimbang rasa’ ke tuan rumah. Jangan terlalu berharap bisa ngobrol-ngobrol seru tanpa batas, sementara anak-anak juga bebas lepas. Jangan!
Tetap waspada. Pasang mata telinga mengawasi anak-anak kita.
Jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan pada tuan rumah.
Kalau ada tuan/nyonya rumah yang memberikan kode agar beralih ke kue lain, jangan dibilang pelit. Cobalah memahami posisi mereka.
Tamu mereka bisa jadi banyak yang mau datang setelah kita…
Stok kue dan makanan mereka mungkin enggak banyak..
Kondisi keuangan mereka mungkin sedang tak bagus untuk membuat/membeli kue dalam jumlah banyak..
Mereka bisa jadi sedang menunggu tamu yang istimewa di hati mereka, misal kakak/adik kandung dan mereka juga ingin kue-kue enak ini dicicipi oleh orang kesayangan mereka..
Intinya… adab! Adab! Adab!
Kalau anak belum mengerti, kita orangtua kan sudah tua, kita yang harus mengerti. Jangan membiarkan anak sesuka dia dengan kalimat “namanya juga anak-anak” . Kemudahan dengan menelantarkan adab, bisa jadi kelak inilah yang akan menyulitkan masa depan anak.
Selamat bersilaturahim. Jangan lupa sematkan ADAB di mana pun!
**menulis caraku menasihati diri.
[ind]
Tulisan ini viral di media sosial, kami kesulitan menemukan sumbernya. Namun demikian, kami sertakan nama penulis di awal tulisan.