Dua Sikap Mukmin: Sabar dan Sukur
“Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
ChanelMuslim.com– Dalam kehidupan, semua orang tak akan lepas dari dua hal yang akan dialami. Ia akan mengalami ujian keburukan, atau akan mengalami ujian kebaikan. Bagi seorang mukmin, kalau keburukan, ia bersabar. Dan kalau kebaikan, ia bersukur.
Sikap ini merupakan keunggulan yang hanya dimiliki mukmin. Sikap sabar membuatnya semakin dewasa dengan masalah kehidupan, dan sikap sukur membuatnya tidak terbuai dengan kesenangan yang menjadikannya lalai.
Sabar yang membuat mukmin menjadi kian dewasa dan matang
Ujian keburukan, apa pun bentuknya, akan berujung pada rasa sakit, berat, dan menyesakkan. Sekecil apa pun ujian itu. Tak seorang pun yang ingin mengalaminya.
Baca Juga: Semoga Sabar Kita Membuahkan Pertolongan Allah
Dua Sikap Mukmin: Sabar dan Sukur
Namun, jika disikapi dengan benar, ujian jenis ini sebenarnya merupakan tangga seseorang untuk menaiki level lebih tinggi dalam kehidupan. Kalau ia mampu mengelola dengan baik, ujian buruk justru akan menjadikannya memiliki pengalaman untuk menghadapi tantangan berikutnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, tiap orang punya reaksi yang berbeda. Dalam jenis musibah yang sama, tiap orang akan bereaksi sesuai kemampuannya. Ada yang terpukul, ada yang biasa-biasa saja.
Hal ini menunjukkan kelas mereka. Dan seseorang tidak akan naik kelas kalau ia tidak mampu menyikapi dengan baik ujian yang dialami. Kesedihan, ketakutan, dan kegundahan akan terus berulang. Sementara, ujian keburukan tak akan berhenti selama orang masih dalam kehidupan.
Makna sabar bisa diartikan istiqamah, konsisten, atau tak keluar jalur. Hal ini berkaitan dengan jenis ujian keburukan yang kerap membuat yang mengalaminya resah, sedih, dan berontak. Ada ketidakpuasan yang muncul dari orang yang mengalami ini.
Orang yang sabar akan menepis ketidaknyamanan ini dengan potensi jiwanya yang tersembunyi. Daya tahan jiwanya terangsang untuk bangkit, dan membangkitkan kekuatan yang membuat jiwa tetap seimbang.
Kunci sabar ada pada penyerahan segala hal kepada Yang Maha Kuat, Allah swt. Tidak ada “pukulan” kehidupan apa pun yang dialami seseorang, jika bersandar kepada Yang Maha Kuat, akan justru menjadikan jiwanya kian kuat dan resisten.
Musibah datang dari Allah, dan jika menghadapinya juga dengan penyertaan Allah, musibah akan seperti pengungkit sehingga mutu jiwa seorang yang mengalaminya menjadi naik.
Allah swt. tidak akan membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Semakin tinggi level jiwa seseorang, kian berat ujiannya. Hingga, ia tidak lagi merasakan hidup sebagai sesuatu yang membebani. Melainkan, sebagai sesuatu yang mengasyikkan, seperti seorang petualang yang begitu haus dengan tantangan.
Sikap sabar juga menjadikan seseorang terus dalam gerak. Dan gerak inilah yang menjadikan siapa pun menjadi tetap sehat: jasmani dan ruhani.
Sikap sukur menjadikan seorang mukmin tetap dekat dengan Allah swt.
Umumnya, orang bisa tahan dengan ujian keburukan. Tapi, tidak tahan dengan ujian kesenangan. Karena di ujian ini, kewaspadaan seseorang untuk tetap menjaga konsistensi menjadi agak rapuh.
Sejarah memperlihatkan bagaimana orang-orang Yahudi yang tidak lagi konsisten dengan ujian kesenangan di masa Nabi Musa a.s. Ketika diuji dengan Firaun, mereka sabar. Tapi ketika Firaun lenyap, justru sebuah pelanggaran besar mereka lakukan: membuat berhala baru dalam bentuk sapi yang terbuat dari emas untuk mereka sembah selain Allah swt.
Kesenangan yang dialami Yahudi di masa itu pula, menjadikan mereka terpecah dan terus dalam suasana saling bermusuhan. Mereka pun muncul sebagai sosok generasi yang sombong, bahkan merasa besar dari Allah swt.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang sebuah generasi lahir sesuai dengan karakter lingkungan keluarga yang membentuknya. Umumnya, keluarga yang serba tersedia, generasi penerusnya menjadi malas, materialis, dan hanya ingin hidup dalam kesenangan.
Berbeda dengan keluarga yang serba prihatin tapi tetap sabar, mereka mampu melahirkan generasi yang ulet, gigih, dan kuat.
Perhatikanlah bagaimana kehidupan masa kecil para tokoh sejarah yang berhasil menoreh kesuksesan di masa tuanya. Mereka umumnya hidup dalam suasana prihatin tapi tetap sabar.
Begitu pun dalam cakupan besar sebuah bangsa. Negara yang kaya umumnya menghasilkan anak-anak bangsanya yang malas, bodoh, dan penakut. Masa depan bangsanya menjadi sangat suram dan gelap.
Sikap sukur seorang mukmin menjadikan jiwanya tidak merasa terbuai. Ia tetap mengembalikan kesenangan itu kepada Pemilik kesenangan yang sebenarnya, Allah swt. Ia berikan hak-hak orang yang kekurangan agar mereka ikut bahagia. Dan itu kian menjadikannya tidak hanya dekat dengan Allah swt., melainkan juga dengan orang-orang di sekitarnya. (mh/foto: springsadvertiser)