ChanelMuslim.com – Menangis selama 30 tahun karena Hamdalah ini ditulis oleh Ustaz yang juga penulis dan pemateri di bidang Parenting Muhammad Fauzil Adhim pada tahun 2012.
Namanya Sirriy Siqthy. Sering juga disebut dengan As-Surkati. Gara-gara mengucap hamdalah, ia menangis memohon ampun kepada Allah selama tiga puluh tahun.
Ia beristighfar setiap hari, setiap saat ia ingat karena menyesali ucapan alhamdulillah yang pernah keluar dari mulutnya.
Ketika ditanya bagaimana ia bisa berlaku demikian, Sirriy Siqthy menuturkan:
“Saat itu aku punya sebuah toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api. Toko yang kumiliki berada di dekat pasar tersebut.
Aku bersegera pergi ke sana untuk melihat apakah tokoku juga terbakar atau tidak. Seseorang berkata kepadaku, ‘Api tidak sampai di tokomu’. Aku pun mengucapkan alhamdulillah,”
“Setelah itu aku berpikir,” kata Sirriy Sigthy melanjutkan ceritanya,
“Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini? Tidakkah ada empat toko lainnya yang terbakar. Tokomu memang tidak terbakar, tetapi toko-toko lainnya terbakar.
Ucapan alhamdulillah berarti bahwa engkau bersyukur api tidak membakar tokomu. Jadi, engkau rela toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar.”
Sirriy Siqthy kemudian melanjutkan ucapannya, “Aku berkata lagi pada diriku,
‘Tak adakah barang sedikit rasa sedih atas musibah yang telah menimpa kaum Muslimin, hai Sirriy?”
Sirriy Siqthy kemudian mengutip hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sailam, “Barang siapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum Muslimin, maka tidaklah dia termasuk dari mereka.”
Ketakutan Sirry Siqthy kalau-kalau tidak termasuk golongan kaum Muslimin inilah yang menyebabkan ia menangis terus-menerus selama tiga puluh tahun.
Setiap hari ia dibayang-bayangi oleh rasa bersalah tentang betapa nista dirinya karena tak ada bela sungkawa kepada saudaranya sesama Muslim yang ditimpa bencana.
Ia merasa menyesal karena di saat saudaranya sesama Muslim ditimpa bencana, ia justru mengucapkan alhamdulillah. Bukan pernyataan bela sungkawa.
Baca Juga: Hukum Membaca al-Qur’an bagi yang Junub
Menangis Selama 30 Tahun karena Hamdalah
Kisah Sirriy Siqthy ini terasa begitu mendesak untuk kita baca.
Hari ini, ketika perasaan kita telah mati dan itsar (altruisme) sudah nyaris terkikis habis, kita perlu berkaca sejenak pada pribadi-pribadi menakjubkan semacam Sirriy Siqthy.
Jika ia menangis memohon ampun hanya karena mengucap hamdalah, masih pantaskah kita mengaku sebagai umat Muhammad?
Layakkah kita mengharap syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi waa Sallam, sementara kita tak pernah memerhatikan kerabat dan keluarga yang kekurangan, ataupun tetangga yang merintih kelaparan?
Layakkah kita mengharap surga bersama Nabi dan para syuhada, sedangkan kita tidak pernah mau menyisihkan sedikit dari harta kita untuk tetangga yang nyaris putus asa hidupnya?
Sedangkan kata Nabi Shallallahu ‘alaihi tua Sallam,
“Kelak di hari akhirat, ketika penduduk neraka ditanya penghuni surga mengapa mereka masuk neraka, mereka menjawab, Dahulu kami tidak melakukan shalat, dan tidak memberi makan orang miskin’ (Q.s. Al-Muddatstsir [74]: 43–44).”
Astaghfirullah…. Shalat saja tidak cukup kalau kita tidak pernah mau menyisihkan kelebihan harta kita sedikitpun untuk memberi makan orang miskin.
Tidak ada artinya uang yang kita keluarkan untuk membeli baju koko, sajadah yang mahal, atau surban yang bersulam, jika saudara-saudara kita yang pakaiannya tambal sulam nyaris tak bisa dipakai lagi kita biarkan mati kedinginan.
Dari Al-Qur’an kita belajar, tidak ada iman tanpa amal saleh, dan tidak ada nilainya amal yang kita keluarkan jika tidak dilandasi iman yang lurus.
Orang yang mengaku beriman dengan hatinya, dan menyertai dengan shalat dan doa-doa yang panjang, tetapi tak ada amal saleh sedikit pun yang dikerjakan, maka ia termasuk orang-orang yang mendustakan agama.
Orang-orang yang menyibukkan diri membangun masjid, sementara tetangga masjid terancam imannya karena tak ada yang dapat mereka makan kecuali mie instan pemberian orang yang berbeda agamanya, maka masjid yang megah itu termasuk sebagian dari kesia-siaan.
Hari ini, kita berlomba-lomba memegahkan masjid, sementara di dalamnya kosong dari hidayah.
Astaghfirulahal ‘azhim… Sudah Muslimkah kita?[ind]