ChanelMuslim.com – Apa yang terbayang ketika Anda mendengar nama Vanessa Angel? Tepat. Sosok yang dikenal karena berita kasus prostitusi online. Dari mana Anda membaca, mendengar dan menonton kabar tersebut? Jelas, dari media atau media sosial.
Oleh: Yons Achmad (Pengamat Komunikasi)
Lalu, sekian lama Anda mengikuti beritanya, mulai dari kisah tentang prostitusi online, ditangkap bersama suaminya karena kasus narkoba, sampai terakhir, kasus kecelakaan mobil yang membuatnya bersama suami meninggal dunia.
Apa yang Anda dapatkan? Apakah dengan mengikuti berita demikian ada perubahan dalam diri Anda dan menjadi lebih baik? Sebuah pertanyaan eksistensial yang perlu direnung-renungkan.
Hanya, pertanyaan kecil, kenapa media tetap memberitakan peristiwa-peristiwa semacam ini? Dalam kajian media, hal ini bisa dilihat dengan pendekatan media sebagai cermin.
Yaitu bagaimana media menjalankan tugasnya dalam merefleksikan (reflector), atau mencerminkan (miror) masyarakat.
Praksisnya, media hanya menjalankan tugas memberitakan peristiwa-peristiwa yang dianggapnya punya nilai berita dalam sudut pandang pengelolanya. Bagaimana terkait dengan dampaknya?
Itu bukan persoalan media, itu problem khalayak (pembaca atau penonton). Media juga seringkali kedapatan jarang peduli pada “obyek” pemberitaannya.
Jadi bagi publik, ketika ada berita yang misalnya didominasi oleh berita seks atau kekerasan, media beralasan memang begitulah keadaan yang terjadi di dalam masyarakat. Media hanya mengabarkan saja apa terjadi di dunia nyata.
Lantas, bagaimana ketika muncul kritikan dari masyarakat, kenapa yang marak berita-berita demikian? Media sering berkelit dan berdalih.
Ucapan klise seperti “Jangan tembak si kurir” (Don’t shoot the messenger) menjadi alasan andalan. Artinya apa? Media tak mau terus disalah-salahkan.
Lihatlah, bayangkan Anda dalam posisi Vanessa Angel, dikabarkan terus menerus oleh media sebagai pelaku prostitusi online.
Padahal, benar atau tidaknya juga kita tak pernah benar-benar punya buktinya. Bayangkan bagaimana dirinya dicitrakan, bagaimana keluarganya juga harus menanggung malu. Tidak ada ruang pembelaan.
Sampai kemudian, di media sosial publik melihat perubahan ke arah positif. Vanessa Angel mulai mencoba hidup normal (setidaknya menurut pengakuannya), menikah, punya anak dan membangun beberapa bisnis.
Sampai kemudian berita kecelakaan menjadi puncak pemberitaan tentang Vanessa Angel.
Apa yang terjadi? Media terus memberitakan. Bahkan ada kesan menjadikan sosok Vanessa Angel sebatas komoditas (barang dagangan) belaka. Mengeruknya, mengulasnya sebagai sekadar konten belaka.
Benar bahwa media beranggapan mereka sekadar mengabarkan fakta, bukan yang lain. Tapi, jurnalisme Indonesia dalam sejarahnya sebenarnya bukan semata-mata menghadirkan fakta, akan tetapi makna.
Hal ini bisa kita tengok bagaimana pers pra kemerdekaan, isinya lebih banyak opini-opini, pandangan-pandangan tentang perjuangan untuk kemerdekaan, bukan berita-berita berisi fakta dengan rumus 5 W 1 H.
Tokoh pers seperti Jacob Oetama juga pernah mengenalkan (mempopulerkan) apa yang disebut dengan jurnalisme makna.
Baca Juga: Hikmah dari Kecelakaan Vanessa Angel
Kisah Vanessa Angel Perspektif Jurnalisme Makna
Jacob Oetama, dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003 memberikan pandangan menarik.
Salah satu yang disampaikan Jakob dalam pidatonya, berita bukan sekedar informasi tentang fakta, tetapi harus menyajikan arti dan makna peristiwa.
Caranya adalah dengan melakukan reportase mendalam, investigatif, dan responsif serta bukan sekedar fakta menurut urutan kejadiannya, melainkan fakta yang mencakup latar belakang, proses dan riwayatnya.
Hanya saja, menurut salah satu dosen Ilmu Komunikasi UGM, Dr. Ana Nadya Abrar, jika ditarik ke masa kini, ide Jakob Oetama ini sulit diterapkan.
Tidak banyak media yang mau repot dan ikhlas melakukan investigasi. Kecuali itu, ide Jakob Oetama memerlukan Politics of Values yang luhur.
Sementara media sekarang suka pragmatis malah terkadang oportunis. Apalagi media online banyak yang pragmatis.
Tapi bagi saya, kabar baiknya, sulit itu kategori bisa. Artinya apa? Sebenarnya media bisa memproduksi beragam produk jurnalistik dengan “ideologi” jurnalisme makna.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi media. Bagaimana beragam produk jurnalisme makna tak sekadar menyodorkan realitas seperti kerja-kerja jurnalisme fakta, tapi kemudian bisa memberikan wacana, pengetahuan, keilmuan bahkan arah bagi diri dan bangsa ke depan.
Memang, suatu hal yang mewah dan beban berat media ditengah beragam pragmatisme yang merongrong beragam profesi, termasuk profesi jurnalis.
Kalau sudah begini pemandangan media kita, lalu bagaimana? Tentu di sini, literasi media menjadi penting dihadirkan. Bagaimana publik bisa bersikap kritis terhadap media.
Bagaimanapun juga, wartawan hanya “sekadar” mengonstruksi realitas, hanya mengambil sepenggal realitas dalam sebuah peristiwa.
Tentu, teramat banyak hal yang tak (belum) tersampaikan dalam media. Inilah ruang yang perlu dimasuki publik, bisa melihat, memandang sisi lain dari sebuah pemberitaan.
Hanya saja, publik juga sepertinya sering terjebak pada respon spontan setiap ada pemberitaan “Hot” yang muncul. Apa itu? Ya benar, spontan melakukan penghakiman dengan menyalahkan seseorang.
Dalam kasus terakhir misalnya menyalahkan sang sopir keluarga Vanessa Angel. Kenapa penghakiman? Karena itulah cara paling mudah seseorang ketika merespon berita.
Sama seperti dalam kehidupan keseharian, paling mudah memang menyalahkan orang. Alih-alih terjebak pada kebiasaan penghakiman atas sebuah pemberitaan, maka publik juga bisa menyalakan apa yang disebut dengan istilah literasi media berbasis makna.
Tentang bagaimana publik bisa belajar tentang beragam makna atas sebuah berita. Misalnya, tentang bagaimana proses pergulatan spiritualitas Vanessa Angel yang terus mengarah kepada hal positif, bagaimana publik belajar tentang kematian yang begitu dekat, belajar tentang keamanan berkendara terutama di jalan tol.
Saya kira, proses menemukan makna atas beragam peristiwa (pemberitaan) demikian lebih produktif ketimbang sibuk menyalahkan orang. Saya kira, inilah sikap terbaik ketika mengonsumsi media. [ind]