ChanelMuslim.com- Allah anugerahkan kita nikmat yang banyak. Karena itu, shalatlah dan berkurbanlah.
Dua perintah yang Allah rangkaikan dalam satu kalimat: shalatlah dan berkurbanlah. Shalat merupakan wujud dari kedekatan hubungan seorang mukmin dengan Penciptanya, Allah subhanahu wata’ala. Dan berkurban, merupakan wujud empati untuk memberikan yang terbaik terhadap umat manusia.
Shalat bisa dikatakan sebagai harmoni seorang mukmin dengan suasana langit. Dan berkurban sebagai keakraban dengan sesama umat manusia di bumi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, Tidak mungkin bertemu iman dan sifat kikir dalam hati seseorang.
Orang beriman dengan keimanan yang sebenarnya, hatinya selamat dari sifat kikir. Dan orang kikir menunjukkan seberapa besar kadar keimanan dalam hatinya.
Kemurnian nilai sebuah pengorbanan yang diniatkan tulus karena Allah lebih teruji lagi di saat suasana krisis. Dalam suasana lapang boleh jadi orang biasa mengeluarkan hartanya yang stabil. Tapi di saat krisis, orang mulai berhitung ulang.
Di sinilah ujiannya. Seberapa kuat keimanan yang meyakinkan dirinya bahwa Allah Maha Kaya, Maha Pemurah yang siap mengganti berapa pun yang dikeluarkan hambaNya karena ingin mengharap ridhaNya.
Iman yang lemah kian terhempas dalam tiupan angin krisis. “Kalau saya kurangi jumlah harta saya melalui kurban, dari mana lagi saya akan memperolehnya kembali?” begitu tiupan angin krisis itu.
Angin krisis sontak membuat sebagian orang kaya merasa miskin. Sebaliknya, menjadikan sebagian orang miskin merasa kaya. Kaya bukan jumlah hartanya, tapi limpahan aset jiwanya yang tetap bersemangat untuk berkurban.
Dua fenomena yang dicatat sejarah dari keteladanan generasi sahabat radhiyallahum ajma’in. Dua-duanya terjadi di masa persiapan perang Tabuk. Sebuah perang pertama melawan Romawi yang adidaya. Justru, terjadi di saat masa paceklik yang parah.
Fenomena pertama lalainya seorang sahabat dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ka’ab bin Malik. Ia begitu disibukkan dengan kebun kurmanya yang tak lama lagi panen, dan ia pun tertinggal dalam rombongan Nabi. Meskipun akhirnya sahabat mulia ini mendapatkan ampunan langsung dari Allah.
Fenomena kedua adanya beberapa sahhabat miskin yang begitu bersemangat untuk ikut berangkat bersama Nabi. Tapi, ia tidak punya kendaraan untuk ditumpangi. Dan tak punya senjata untuk digunakan. Mereka siap berkurban dengan aset terakhir yang dimiliki: dirinya sendiri.
Saat ini, dua fenomena itu seolah lahir kembali. Zaman krisis saat ini, tiupan anginnya membuat lumpuh sebagian orang meskipun ia sangat berdaya. Dan, tetap meneguhkan sebagian yang lain, meskipun tergolong miskin.
Fenomena ini memberikan pelajaran menarik bahwa kaya dan miskin bukan sebuah persoalan aset kebendaan. Melainkan, aset kejiwaan dan keimanan.
Keimanan yang teguh mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa ada Allah bersama semua harta yang kita keluarkan. Dia Maha Kaya. Bahkan yang saat ini di genggaman kita pun hanya titipanNya.
Tak akan pernah jatuh miskin orang ikhlas berkurban. Dan tak akan pernah menjadi kaya orang yang menahan hartanya untuk tidak berkurban. [Mh]