Chanelmuslim.com-Setiap pahlawan pasti dilahirkan dari rahim seorang ibu, tapi tak semua ibu melahirkan pahlawan.
Data Pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI menunjukkan, remitansi TKI mencapai 8,6 USD juta atau setara dengan Rp 119 triliun. Fenomena ini terlihat sangat jelas pada tenaga kerja wanita (TKW). Sekitar 4,5 juta perempuan Indonesia atau sekitar 70 persen dari total 6,5 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja sebagai TKW.
Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan, membuat banyak perempuan Indonesia terpaksa menjadi TKW. Sekarang ini juga tercatat TKI khususnya TKW tersebar di 142 negara. Coba bayangkan berapa trilyun sumbangan mereka untuk Negara ini. Namun nasib mereka selalu kurang mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.
Ibu rumah tangga (IRT) berpeluang melahirkan dan menjadi pahlawan. Dalam koridor emansipasi dan kesamaan jender, pahlawan yang dilahirkan bisa lebih banyak dan berkualitas. Ia bisa menggugat bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), melainkan juga perolehan hasil usaha pasangannya yang tidak wajar. Bisa juga ia menolak untuk bekerja di luar rumah ketika anaknya masih menyusui dan perlu pengasuhan.
Mungkin ini “ilusi” bila yang terjadi justru IRT “bosan” dengan statusnya yang dipandang “hina” dan kurang penghargaan sehingga menuntut bekerja di luar rumah dengan banyak meninggalkan anaknya. Padahal, bisa jadi statusnya diperlukan membangun generasi tangguh.
Intelektualitas IRT tampak semakin penting di era kemajuan peradaban seperti disampaikan almarhum KH Rusyad Nurdin pertengahan 1988. Fenomena yang ada memerlukan penjelasan yang dapat diterima nalar dan dipatuhi anak. Banyaknya kasus aliran sesat, anak yang menjadi pelaku ataupun korban kejahatan perlu dipandang sebagai upaya sistematis merobohkan konstruksi generasi bangsa.
Banyaknya ibu yang “gemar” menciptakan kegiatan di luar rumah untuk bisnis, karier, arisan, PKK, atau Dharma Wanita diharapkan tidak bersifat permanen agar tidak memudarkan “aura” IRT sebagai sosok mulia. Bisa jadi ketika masih belum punya anak, atau anaknya sudah dewasa kegiatan tersebut menjadi bagus. Sewaktu buah hati lahir dan merangkak besar, meninggalkan rumah bersama anaknya bisa mempererat ikatan keduanya sekaligus untuk refreshing dan tidak kurung batok. Namun, ketika dilakukan secara rutin, perlu ada kesepakatan baru di rumah tangga.
Mengubah “image”
IRT merupakan pekerjaan mulia yang kesadarannya datang terlambat. Secara nasional, ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang bisa menempatkan perempuan sesuai struktur dan kultur yang ada. Sebagai komunitas terkecil, keluarga bermotorkan ayah dan ibu. Ketika tugas mencari rezeki di pundak ayah, mengasuh anak bertumpu pada pundak ibu.
Dipilihnya ibu, tentu tidak lepas dari hubungan emosional terdekat dengan figur yang mengandung, melahirkan, dan menyusui. Hubungan emosional yang terus dibina dan dikembangkan dengan kapasitas intelektual yang memadai akan menjadikan seorang ibu mampu mendampingi, membentengi, dan memberikan solusi bagi persoalan yang dialami anak-anaknya.
Perkembangan anak secara psikologis ataupun biologis tidak bisa dibiarkan tanpa pengasuhan. IRT tentu saja tidak boleh kalah oleh banyaknya kelompok relawan yang mendeklarasikan diri sebagai pendamping anak ataupun remaja. Keberhasilan melakukan pendampingan diindikasikan dengan semakin banyaknya perilaku anak remaja yang saleh dan berkurangnya perilaku salah. Pertumbuhan jumlah anak remaja saleh yang semakin besar akan mendorong terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang baldatun thoyyibatun warrabun ghafur. Kehidupan semacam ini akan mempercepat juga pencapaian keadilan dan kemakmuran bangsa.
Barangkali IRT bukan “penganggur” dengan daster lusuh. Ketika dahulu ibu “dusun” melahirkan pahlawan, mestinya kini lebih banyak pendidikan yang semakin baik. Peran pemerintah menjadi sentral melalui program pemberdayaan perempuan. Sejarah pun menunjukkan bahwa IRT menciptakan pekerjaan yang dapat dilakukan sambil mengasuh anak melalui bercocok tanam. Konsep ini makin bertebaran dalam kehidupan modern di perkotaan, tinggal mengemas dan memanfaatkannya.
Mempersandingkan aktivitas suami-istri tentu lebih bermakna ketimbang mempersaingkan keduanya. KDRT mungkin saja lahir dari konsep “saing”, bukan “sanding”. Saling tuding atas kesalahan anak juga lahir darinya. Uang banyak dengan cara yang tidak halal bisa menjadikan asupan gizi anak tidak baik untuk pertumbuhan mental. Bila bangsa ini dijejali dengan anak yang bermental tidak sehat, apa kata dunia!
Anggota keluarga yang dimotori IRT perlu mempertanyakan sumber uang yang dibawa suaminya yang pejabat negara. Korupsi dan manipulasi uang rakyat dapat dicegah jika setiap IRT rewel dalam hal yang satu ini. Bisa jadi semua pejabat yang menzalimi, menguras uang rakyat atau jatah hidup bawahannya akan segera sadar bila IRT bertindak seperti itu.