ChanelMuslim.com- Membaca itu tidak selalu dengan mata dan pikiran. Tapi juga dengan hati dan keimanan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu pertama, malaikat Jibril memintanya membaca: iqra! Nabi menjawab, aku tidak bisa membaca.
Ada dua keadaan yang seolah perintah Jibril tak bisa dilakukan Nabi. Pertama, Nabi menjelaskan bahwa dirinya tak bisa membaca. Nabi tak memiliki pengetahuan tentang membaca.
Kedua, perintah itu disampaikan saat Nabi berada dalam gua. Tak ada penerangan di tempat itu. Gelap, setidaknya samar. Jadi, bagaimana mungkin Nabi bisa membaca di tempat yang minim cahaya.
Barulah Nabi memahami bahwa kalimat itu merupakan bagian dari firman Allah yang disampaikan malaikat Jibril untuk “dipasangkan” ke hati Nabi.
Makna membaca tidak melulu seperti arti harfiahnya. Yaitu, mengucapkan dan memahami simbol-simbol huruf pada tulisan. Membaca juga memiliki makna lain dan jauh lebih luas dari itu.
Kita sering mendengar orang mengatakan, “membaca pikiran”, “membaca suara alam”, “membaca keinginan orang-orang”, dan lainnya.
Dalam makna ini, membaca merupakan kemampuan untuk menangkap makna di balik sesuatu. Kemampuan menangkap hikmah di balik peristiwa. Kemampuan menangkap rasa di balik gerak. Dan seterusnya.
Membaca dalam makna ini, tentu tidak bisa dilakukan hanya dengan mata di kepala kita. Tidak juga hanya dengan keterampilan membaca makna simbol huruf pada tulisan.
Lebih dari itu. Membaca dalam makna ini adalah kemampuan mata hati menangkap rangkaian peristiwa secara jernih. Kemampuan menangkap yang lebih besar dari yang terlihat kecil. Juga kemampuan menangkap fenomena.
Sejarah mencatat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkunjung ke Gua Hira tidak sekali itu saja. Tapi, sudah berulang kali.
Letak gua itu pun begitu strategis dari sisi Kota Mekah. Dekat, dan memberikan fanorama utuh tentang wajah Mekah dari ketinggian.
Dari gua itu Nabi bisa melihat Kota Mekah begitu utuh. Dan dari gua itu pula, ada pemandangan lain yang jauh lebih menarik. Yaitu, fenomena alam yang menaungi kota itu. Langitnya, bukit-bukitnya, cekungan datarannya, dan lain-lain.
Sebuah rangkaian fenomena yang bisa menujuruskan pada satu makna. Dan makna itu adalah nilai ketuhanan yang sebenarnya. Bukan seperti yang didongengkan. Bukan seperti yang ditradisikan penduduk Mekah, dan lainnya.
Dan jawaban di balik semua makna bacaan itu adalah seperti yang disampaikan Malaikat Jibril pada wahyu pertama yang “disentuhkan” ke hati Nabi yang mulia: iqra bismi robbikal ladzii kholaq….
Kita pun sebaiknya tidak melulu membaca fenomena hanya melalui simbol-simbol yang tertulis pada huruf dan logika. Karena hal itu akan mengungkung kita pada batasan yang terlihat dan terasa saja.
Cobalah membaca fenomena melalui mata hati kita. Cerna bacaan itu dengan nilai keimanan. Tak ada yang lebih besar dari Allah. Tak ada yang lebih Agung dan Bijaksana dariNya. Semua atas kehendakNya dan kuasaNya.
Dari bacaan itu pula, kita akan terlatih untuk mengejar yang paling besar di banding yang kecil berupa butiran pasir dunia. Terlatih untuk menatap ke yang paling kuasa dari sekadar simpul-simpul kecil jabatan manusia.
Terlatih pula untuk menangkap arti nilai dunia di banding nilai akhirat. “Dan tidaklah kehidupan dunia di banding akhirat kecuali hiasan saja.” [Mh]