ChanelMuslim.com- Dari dua menjadi satu butuh penyesuaian. Jika tidak, hasilnya akan tetap dua. Atau bahkan bisa nol.
Ikatan pernikahan menyatukan pria dan wanita menjadi satu cinta. Satu hati. Satu selera. Satu arah. Dan satu cita-cita.
Proses penyatuan ini boleh jadi tidak mudah. Karena masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda. Dari pola asuh yang tidak sama. Dan dari kecenderungan yang tak serupa.
Namun semua latar yang tak sama itu tidak berarti sulit menyatu. Apalagi dianggap mutahil. Memang butuh kesabaran dan lapang dada.
Beberapa hal berikut ini boleh jadi bisa menjadi masukan agar proses penyatuan bisa berjalan mulus.
Penyesuaian Diawali dari Saling Memahami
Tidak ada penyesuaian tanpa saling memahami. Saling memahami merupakan proses lanjutan dari saling kenal satu sama lain.
Tapi jangan salah paham. Yang dimaksud dengan saling kenal merupakan proses lanjutan pasca nikah. Bukan pra nikah.
Ta’aruf memang dilakukan sebelum nikah. Tapi, bobotnya hanya sekadar kilasan saja. Siapa namanya, pekerjaannya, pendidikannya, tentang orang tuanya, alamatnya, adik dan kakaknya, dan seterusnya.
Kenalnya hanya luarnya saja. Tidak sampai pada karakternya, hobinya, seleranya, kecenderungannya, dan hal lain tentang dalam diri si dia.
Kenal tentang dalamnya baru dilanjutkan setelah nikah. Oh, ternyata dia orangnya begini dan begitu. Oh, ternyata hobinya ini, seleranya seperti ini, dan lainnya.
Dari saling kenal tentang dalam diri inilah bisa diperoleh saling memahami. Contoh, dia selera mutu makannya tinggi. Jadi, wajar kalau pilih-pilih dalam makan. Dia itu sangat dermawan, jadi wajar kalau dompetnya jarang penuh.
Contoh lain, dia itu tidurnya sangat khusyuk. Jadi, wajar kalau susah dibangunkan. Dia itu perfect dalam penampilan, jadi wajar kalau punya banyak busana. Dia itu sangat peduli dengan kesehatan, jadi wajar kalau selalu ingin bersih diri dan lingkungan.
Jadi, saling memahami merupakan rembesan dari proses saling kenal yang berhasil. Akan muncul pemakluman terhadap hal yang menurut kita tidak pas. Dan pemakluman itu bukan didorong oleh keterpaksaan, tapi lebih karena empati.
Contoh, kita orang yang biasa makan dengan sendok. Tapi karena kita memahami bahwa si dia juga terbiasa makan dengan tangan, maka ada pemakluman meskipun itu bukan ciri kita. Dan pemakluman itu sebagai empati karena ada sisi baik dari cara makan seperti itu.
Kita tidak dengan gampang mengatakan, “Ih jorok, makan kok tanpa sendok.”
Begitu pun dengan pemakluman terhadap si dia yang suka hemat. Kita empati dengan sikapnya. Karena ada alasan baik dari sikap hemat itu.
Kita tidak gampang mengatakan, “Ya ampun, segitu aja pake dihitung. Pelit amat, sih!”
Proses saling kenal yang kemudian saling memahami ini memang butuh waktu. Durasinya sangat fleksibel di masing-masing pasangan. Ada yang hanya dalam bilangan pekan. Tapi, ada juga yang tahunan. [Mh/bersambung]