Oleh: Ustaz Ahmad Zarkasih, Lc (Pengajar Rumah Fikih Indonesia)
ChanelMuslim.com- Tinggal menghitung hari kita akan memasuki bulan Ramadan, bulan yang sangat dinanti-natikan oleh seluruh kaum muslimin. Bulan saat semua amal ibadah dilipatgandakan sehingga menarik kaum muslimin untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam ibadahnya.
Namun, semangat dalam ibadah itu harus juga diikuti dengan ilmu yang cukup. Karena Allah Subhanahu waTa’alaa menuntut umat-Nya bukan hanya sekadar melakukan ibadah, tapi seorang muslim dituntut untuk melakukan ibadah sesuai tuntunan yang sudah ditetapkan.
Baca Juga: 7 Bekal Meraih Ramadan Penuh Berkah
Bulan Ramadan = Bulan Zakat
Banyak orang muslim yang masih menganggap bahwa bulan Ramadan itu adalah bulan dimana mereka wajib bayar zakat harta mereka.
Ketika masuk bulan Ramadhan, mereka sudah menghitung-hitung berapa jumlah yang harus dibayarkan, baik itu emas, peternakan atau juga barang dagang.
Semangatnya juga menular ke pengurus-pengurus masjid serta lembaga-lembaga Amil zakat. Jika sudah masuk hari-hari menjelang bulan Ramadan.
Ramai-ramai masjid buka Outlet pembayaran zakat, tidak membedakan zakat fitrah kah atau zakat yang lainnya. Semua dibayarkan ke satu outlet yang sama, dan si Amil memasukkannya ke dalam kotak yang sama.
Biasanya setelah Ramadan selesai, pihak DKM masjih mengadakan acara ‘Pembubaran’ panitia zakat, yang biasanya diisi dengan acara jalan-jalan.
Jelas ini kekeliruan, menganggap bahwa zakat itu hanya dibayarkan di bulan Ramadan saja, bahkan menyamakannya dengan zakat fitrah yang sudah nyata itu berbeda.
Padahal zakat harta; seperti emas, peternekan, barang dagang itu tidak terikat dengan Ramadan. Zakat harta itu terikat dengan harta itu sendiri, yaitu nishab, dan waktu wajibnya yaitu ketika sudah melewati haul (setahun). Tak peduli apakah itu Ramadan atau tidak.
Ketika harta itu sudah melewati batas nishab, saat itu harta sudah berada pada posisi menunggu haul-nya. Ketika sudah melewati masa haul, maka ketika itu juga wajib bayar zakat.
Ramadan atau bukan Ramadan, yang namanya zakat harta wajib dikeluarkan ketika sudah terpenuhi syaratnya tersebut, tanpa harus menunggu bulan Ramadan.
Apalagi ketika petinggi lembaga-lembaga Amil zakat justru memberikan target ‘angka’ kepada para amil-nya untuk pencapaian pengumpulan zakat di bulan Ramadan.
Menjadikan zakat seakan komoditi sehingga bisa seenaknya diberikan angka pencapaian. Sudah jelas zakat dilanggar, memberikan target nominal pula. Ini jelas bentuk penyimpangan.
Zakat tidak bisa dipaksakan harus dibayar di bulan Ramadan. Satu-satunya zakat yang wajib dibayarkan di bulan Ramadan itu hanya zakat fitrah.
Sedangkan zakat harta lainnya itu dibayarkan tanpa terikat oleh waktu, yaitu ketika sudah sampai nishab dan lewat haul-nya, disitu wajib zakat. Bukan Ramadan.
Ketika harus membayar di bulan Ramadan, bisa jadi zakat itu sudah wajib jauh sebelumnya. Karena sudah wajib, mestinya segera dibayarkan.
Ulama 4 mazhab semua sepakat bahwa zakat yang sudah terpenuhi syaratnya harus segera dibayarkan, karena penundaan zakat berarti itu menahan harta orang lain dalam harta kita.
Karena memang sejatinya ketika harta sudah wajib dikeluarkan, statusnya sudah berubah bukan lagi milik kita, akan tetapi itu milik 8 golongan mustahiq zakat. Menunda zakat sama saja menunda orang lain untuk mendapatkan haknya, jelas ini pelanggaran.
Harus Ada Penyuluhan
Mestinya seorang amil bukan hanya seorang yang ahli lobi dalam mencari zakat, mestinya ia juga seorang yang paham betul dengan fiqih zakat itu sendiri.
Sehingga operasi-nya untuk mencari muzakki bukan hanya sekadar mencapai target, tapi juga harus membawa missi mencerdaskan para muslimin tentang syariah zakat itu sendiri. Dan memang begitu tugas seorang amil sejak zaman Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Bulan Ramadan = Bulan Khatam Qur’an
Salah satu semangat yang sangat menggeliat pada bulan Ramadan ialah semangat meng-khatam-kan al-Qur’an. Dan tidak jarang, bahkan hampir semua umat Islam mengusung target khatam Al-Qur’an pada bulan suci ini.
Bahkan ada sekolompok pemuda atau remaja yang mengadakan perlombaan siapa yang paling banyak khatam-nya, dan menjadi sebuah prestise tinggi jika bisa mengatakan, “Alhamdullillah saya sudah khatam 2 kali ramadan ini”.
Tapi semangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan ramadan hendaknya tidak digeneralisasi untuk semua orang. Bagi mereka yang memang sudah mahir dan mengerti hukum-hukum Tajwid (kaidah membaca Al-Qur’an) dan bisa membacanya dengan benar, sah-sah saja buat mereka untuk meng-khatam-kan Al-Qur’an. Karena tidak akan menjadi masalah.
Tapi bagi mereka yang belum mahir membaca Al-Qur’an atau bahkan tidak mengerti hukum-hukum tajwid (sebenarnya membaca Al-Qur’an dengan tajwid itu sesuai Ijma’ Ulama hukumnya fardhu ‘Ain), maka program meng-khatam-kan Al-Qur’an ini sungguh tidak layak dikerjakan oleh mereka.
Sepanjang tahun tidak pernah membaca al-Quran, ketika Ramadan datang, ujug-ujug mau khatam al-Quran. Tentu sudah bisa ditebak bagaimana cara bacanya. Tak beraturan dan tidak karuan. Pasti terburu-buru karena harus kejar target khatam. Sudah tidak penting lagi mana idgham, ikhfa, waqof, mad, qalqalah, saktah dan hukum yang lainnya.
Padahal Allah telah memerintahkan dalam ayat-Nya: “dan Bacalah Al-qur’an dengan perlahan-lahan (tartil)” (Al-Muzzammil 4).
Alih-alih mau mensucikan kitab suci dengan mengkhatamkannya, malah membuatnya tidak seperti kitab suci dengan bacaan yang amburadul, tanpa tadabbur, yang tergambar hanya bisa pasang status medsos “saya sudah khatam al-quran, Alhamdulillah”.
“Lho, bukankah membaca Al-Qur’an itu tetap mendapat pahala walaupun tidak mengerti artinya?”
Siapapun yang membaca al-qur’an pasti mendapat pahala walaupun ia tidak mengerti artinya atau tidak paham kaidahnya, malah mendapat 2 pahala, begitu hadits Nabi menjelaskan.
Tapi itu bagi mereka yang mau terus belajar dan mempelajari kaidah-kaidahnya, bukan untuk kejar target khatam Al-Qur’an tanpa mau belajar di sebelum bulan atau sesudah bulan Ramadan.
Semangat beribadah di bulan Ramadan ini harusnya juga di implementasikan dengan melakukan ibadah sesuai kaidah yang telah ditetapkan oleh syariah itu sendiri.
Baiknya kita konverasi semangat mengakhatamkan Al-Qur’an itu manjadi semangat “BELAJAR TAJWID”. Jadi bulan Ramadan ini sebutan barunya ialah “Bulan Tajwid”.
Waktu-waktu yang awalnya telah kita jadwalkan untuk berkhatam (tapi dengan bacaan salah), kita ubah dengan belajar tajwid, entah itu dengan mendatangi kawan yang mengerti guna meminta beliau mengajarkan kita tajwid. Atau mendatangi seorang ustaz/kiyai, atau juga kita mengikuti halaqoh-halaqoh tajwid yang biasa banyak digelar di masjid-masjid sekitar rumah kita masing-masing.
Satu bulan ini “khatamkan” ilmu tajwid itu sehingga nantinya ketika keluar bulan ramadan ini sudah mampu membaca Al-Qur’an dengan benar.
Akhirnya, bulan ramadan yang akan datang kita sudah siap dengan segudang target, baik itu meng-khatamkan al-qur’an ataupun yang lainnya.
Kita juga pada akhirnya, bisa meninggalkan kebiasaan buruk yang telah lama kita kerjakan, yaitu “masuk ramadan baca qur’an nya begitu, keluar ramadan juga tetap ngga berubah, tetap salah. Tiap taon kayak begitu, terus buat apa ada kesempatan belajar di ramadan?”
Terus Membaca al-Quran
Semangat membaca al-Quran pada bulan Ramadan terus dijalankan dan dirutinkan seperti yang sudah biasa dilaksanakan. Hendaknya bagi yang belum paham tajwid, dia sempatkan salam sehari satu waktu khusus untuk mempelajari tajwid. Entah itu di pagi atau sore atau malamnya setelah sholat tarawih. Jadi, baca Qur’an jalan, belajar tajwid pun jalan.
Tidak perlu takut tidak khatam al-Quran, karena sama sekali tidak ada ulama sejagad raya ini yang mewajibkan khatam Qur’an harus di bulan Ramadan. Tidak ada juga ulama atau ayat serta hadits yang mencela mereka yang tidak bisa khatam Qur’an di Bulan Ramadan.
Ramadan itu kesempatan emas untuk menambah intensitas ibadah kepada Allah termasuk dengan membaca dan mempelajari Al-Qur’an.
Bukan kejar-kejaran target siapa yang paling banyak khatamnya. Buat apa khatam berkali-kali tapi tidak mau belajar dan tidak mau sadar kalau bacaan kita tidak benar?
Jadi pertanyaan yang harus keluar dari mulut kita ketika bertemu saudara dan kawan ialah bukan “berapa kali sudah khatam?” tapi “sudah berapa hukum tajwid yang sudah dipelajari?”.
Wallahu A’lam.[ind/Walidah]