KISAH tentang Khabbab bin Arat, si pembuat pedang masuk Islam. Saat itu, beberapa orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab.
Mereka hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Khabbab adalah seorang pembuat pedang. Ia menjual pedang-pedang buatannya kepada penduduk Mekah dan ke pasar-pasar.
Baca Juga: Khalid Bin Walid, Si Pedang Allah yang Terhunus
Ketika Khabbab bin Arat si Pembuat Pedang Masuk Islam
Berbeda dengan biasanya, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaanya, saat itu tidak mereka jumpai di rumahnya. Mereka memutuskan untuk menunggu kedatangan Khabbab.
Beberapa waktu kemudian, Khabbab datang dengan wajah penuh keceriaan. Matanya berkaca-kaca penuh kegembiraan. Ia menyapa para tamunya, lalu ikut duduk.
Dengan tergesa-gesa mereka bertanya, “Pedang-pedang pesanan kami sudah selesai?”
Mata Khabbab sudah tidak berkaca-kaca lagi, tetapi sinar kegembiraan masih terpancar. Ia berkata seolah-olah tertuju pada dirinya sendiri, “Sungguh, keadaannya sangat menakjubkan.”
Orang-orang itu berkata, “Hai Khabbab, keadaan apa? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apa sudah selesai?”
Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah bermimpi, Khabbab bertanya, “Kalian sudah pernah melihatnya? Kalian sudah pernah mendengar ucapannya?”
Mereka saling pandang keheranan. Seorang dari mereka berkata, kali ini dengan suatu muslihat, “Kamu sendiri, apakah sudah melihatnya?”
Khabbab tidak begitu takut dengan pertanyaan jebakan ini. Ia kembali bertanya, “Siapa yang kamu maksud?”
Laki-laki itu menjawab dengan sedikit marah, “Sama seperti yang kamu maksud.”
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tidak terjebak dengan pertanyaan mereka. Jika saat ini ia memproklamasikan keislamannya di hadapan mereka, bukanlah karena terjebak oleh pertanyaan itu, tetapi karena ia telah meyakini dan menganut kebenaran itu.
Dan, ia telah mengambil keputusan untuk memproklamasikan keislamannya. Dalam keadaan masih terharu, terpesona, dan gembira, ia menjawab, “Benar, aku telah melihat dan mendengarnya. Aku saksikan kebenaran terpancar dari semua sudut tubuhnya, dan cahaya bersinar dari tutur katannya.”
Sekarang, orang-orang mulai paham. Seorang dari mereka bertanya dengan suara lantang, “Siapa yang kau maksud, hai budak Ummu Anmar?”
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut, “Siapa lagi, hai saudaraku sebangsa? Siapa lagi di antara kaum kalian yang memancarkan kebenaran, dan tutur katanya memancarkan cahaya?”
Seorang yang lain tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Rupanya yang kamu maksud adalah Muhammad.”
Dengan gembira Khabbab menganggukan kepalanya dan berkata, “Betul! Dia-lah manusia yang diutus Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju cahaya.”
Setelah itu, ia sudah tidak ingat apa-apa. Barulah beberapa jam kemudian ia menyadari bahwa para tamunya sudah pergi, sementara seluruh tubuh dan tulangnya terasa remuk dan sakit. Bajunya terlihat berlumuran darah.
Kedua matanya memandang sekeliling dengan tajam. Tempat itu terasa sangat sempit. Dengan menahan rasa sakit, ia bangkit dan berdiri di depan pintu rumah sambil bersandar pada dinding.
Kedua matanya memandang jauh ke depan, ke kiri dan ke kanan. Pandangannya benar-benar telah menembus batas yang biasa dijangkau oleh kebanyakan manusia.
Pandangannya mencari sesuatu yang selama ini hilang. Sesuatu yang sudah lama sekali hilang dari kehidupannya, kehidupan penduduk Mekah, dan kebanyakan orang: dimana dan kapan pun mereka hidup.
Mungkinkah apa yang ia dapat dari Muhammad Saw. Hari ini adalah cahaya yang membimbingnya mencari sesuatu yang hilang itu?
Demikianlah, Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam.
Setelah itu, ia masuk rumahnya untuk membalut luka di tubuhnya dan mempersiapkan diri untuk menerima siksaan selanjutnya dari orang-orang kafir Quraisy.
Mulai saat itu, Khabbab masuk dalam daftar orang Islam yang mendapat siksa dari orang-orang kafir. Mereka terdiri dari kalangan miskin dan lemah, namun sanggup berdiri tegar menghadapi kesombongan, kesewenangan dan kegilaan orang-orang kafir Quraisy.
Di mata Allah, mereka sangat mulia. Mereka kibarkan panji kebenaran di angkasa luas sebagai pertanya runtuhnya masa pemujaan berhala dan kezaliman.
Mereka sampaikan berita gembira adanya Allah yang seharusnya disembah manusia, dan tiada sekutu bagi-Nya.
Mereka sampaikan berita gembira bahwa di bawah kibaran panji Islam, orang-orang lemah dan orang-orang miskin memiliki derajat yang sama dengan orang-orang yang selama ini berlaku sewenang-wenang kepada mereka.
Dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul semua tanggungjawab ini, bak seorang perintis. [Cms]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom