*SIARAN PERS*
*KUNCI REDAKAN COVID-19: SATU KOMANDO DAN KEPATUHAN MASYARAKAT*
BOGOR, SABTU 14 NOVEMBER 2020 — Pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir delapan bulan. Hingga kini masih banyak kasus masyarakat yang terpapar virus tersebut. Untuk meredakan penyebaran Covid-19, kunci utamanya adalah satu komando dari pemerintah dan kepatuhan masyarakat. Juru bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Prof. drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D., menegaskan hal tersebut dalam acara Bincang-Bincang Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (BBA ARM IPB) Volume 2 bertemakan ‘Adaptasi Kebiasaan Baru di Era Pandemi’, Sabtu (14/11).
“Untuk menangani kasus Covid-19 komando dari pemerintah harus satu. Jika masing-masing daerah membuat aturan dan kebijakan sendiri, maka akan sulit mengendalikan penyebaran virus yang telah memakan korban ribuan rakyat Indonesia tersebut,” ujar Prof. Wiku.
Karena itu, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020 tentang Satuan Tugas Covid-19. Satgas tersebut yang melakukan koordinasi lintas kementerian/lembaga dan TNI serta Polri. Koordinasi juga dilakukan dengan Satgas Daerah di 34 provinsi, berbagai organisasi, fasilitas layanan kesehatan masyarakat, laboratorium, media, dan swasta.
“Kami telah membuat satu data sebagai alat navigasi sebagai strategi pemerintah untuk menghadapai pandemi ini,” katanya.
Wiku menambahkan, saat ini pemerintah telah membuat peta resiko wilayah penyebaran kondisi Covid-19 dan peta perubahan prilaku masyarakat di setiap daerah. Data terakhir peta resiko ada 27 kabupaten/kota yang mempunyai resiko tinggi dan 370 kabupaten/kota resiko sedang.
Wiku berharap ke depan makin banyak relawan untuk memasifkan gerakaan kampanye 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan) dalam adaptasi kebiasaan baru. Dengan gerakan gotong royong dan saling mengingatkan ini, perubahan perilaku masyarakat akan dapat dipercepat. Apalagi diperkirakan sekitar 17 persen atau hampir 10 juta penduduk Indonesia masih tidak percaya adanya Covid-19.
Profesor Yudi Pawitan, ahli epidemiologi dan Biostatistik di Karolinska Insitutet, Swedia, dalam paparannya menceritakan pengalaman Swedia dalam penanganan Covid-19. Secara kultur, penanganan yang dilakukan amat didukung semua pihak, mengingat kepercayaan publik kepada pemerintah amat tinggi.
Penerapan jaga jarak (social distancing) juga tidak mengalami penolakan. Meskipun secara hasil, kasus Covid-19 di Swedia lebih tinggi dari negara-negara tetangganya, akan tetapi secara umum situasinya tidak lebih buruk dari negara-negara Eropa lainnya. Dan yang pasti, semua orang memang menanti-nanti kehadiran vaksin untuk dapat meredakan wabah tersebut.
Narasumber lainnya, Prof. Juhaeri Muchtar dari University of Carolina, Chapel Hill, Amerika Serikat, membagikan informasi terkini mengenai perkembangan pembuatan vaksin Covid-19. Menurut Juheri, ada tiga kategori vaksin Covid-19 yang kini tengah dikembangkan. Pertama, yang berbahan partikel virus yang inaktif seperti yang dibuat Sinovac. Kedua, dari virus hibrid hidup seperti yang dikembangkan Janssen, dan ketiga bahan berbasis mRNA (Moderna, CureVac, Pfizer, dan Sanofi).
Kebijakan satu komando oleh pemerintah dalam penanganan Covid-19 dirasakan Linda Ambadar, alumni IPB yang menetap di Auckland, Selandia Baru. Saat ini, menurut Linda, Selandia Baru relatif cukup aman dari wabah Covid-19, bahkan aktivitas bekerja dan kegiatan keramaian sudah seperti biasa seperti tidak ada lagi pandemi.
Saat baru terjadi wabah Covid-19, Pemerintah Selandia Baru langsung melakukan lockdown total. Mereka sangat serius ketika menghadapi ancaman virus ini. Bahkan koordinasi antara penyelenggara negara, baik dari penyelanggara kesehatan, sosial dan karantina dikelola dengan baik. “Penyelenggara pemerintah kompak, tidak berbeda-beda. Komando datang dari pusat, bahkan Perdana Menteri Selandia Baru dengan didampingi pejabat kesehatan selalu melakukan siaran pers langsung untuk menyampaikan kondisi terakhir.
Alumni IPB diaspora lainnya, Dian Utami Sukamto, menceritakan pengalaman serupa di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) tentang peran pemerintah dalam memberikan komando sebagai salah satu kunci keberhasilan UEA dalam mengatasi Covid-19. Bahkan UEA termasuk negara yang paling banyak melakukan tes Covid-19 yakni 150 persen atau dari 10 juta penduduk, sudah dilakukan 15 juta tes. Kasus positif Covid-19 hanya sekitar 0,9 persen.
Praktisi psikososial, Yuli Arinta Dewi, menyesalkan masih adanya stigma negatif terhadap masyarakat yang terkena covid-19, terutama pengucilan. Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab, antara lain masyarakat ketakutan tertular penyakit tersebut. Apalagi Covid-19 merupakan penyakit baru dan menular, ditambah pemahaman masyarakat yang minim terhadap penyakit ini dan vaksin belum ditemukan.
“Stigma ini menjadikan trauma penderita yang lebih dalam. Sudahlah menjadi korban, malah ditambah stigma negatif,” ujarnya.
Dukungan psikososial bagi mereka yang tengah dan pernah terkena Covid-19 amat penting dilakukan untuk mencegah dampak psikologis lebih parah. Tujuan dukungan psikososial pada masa pandemi adalah untuk menurunkan kecemasan yang irasional di tengah masyarakat serta meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi dengan kondisi saat pandemi.
Stigma negatif seperti itu pernah dirasakan oleh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Joko Santoso, yang pernah divonis positif Covid-19 cukup lama, mulai April hingga Juni 2020. Bahkan dirinya sempat dinyatakan positif kembali setelah setelah sempat sembuh.
“Stigma negatif dari tetangga bukan hanya saya, tapi keluarga saya juga sempat dijauhkan masyarakat. Bahkan mereka tidak mau menerima pemberian apapun dari keluarga saya. Ada juga yang tidak mau melewati depan rumah saya, mereka harus berputar melalui jalan lain,” tuturnya.
Namun, Joko mengakui, stigma negatif itu terjadi karena masyarakat belum paham terhadap penyakit Covid-19. Apalagi kasus yang menimpa Joko terjadi pada masa awal wabah Covid-19.
“Seiring dengan waktu akhirnya masyarakat paham. Bahkan ada yang datang ke rumah meminta maaf,” katanya.
Ia membagikan beberapa tips adaptasi kebiasaan baru dengan prinsip iman, imun, dan aman. Joko kini selalu membawa masker, hand sanitizer, minuman lemon madu, dan sajadah saat keluar rumah, serta berolahraga sedikitnya 10-15 menit setiap hari. [Wnd/rls]