ChanelMuslim.com – Bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional, Filantropi Indonesia bekerja sama dengan PKMK FKKMK UGM dan Tahija Foundation meluncurkan Klaster Filantropi Kesehatan. Klaster ini dibentuk
dalam rangka meningkatkan kualitas program kesehatan yang didukung, didanai dan dikelola oleh lembaga-lembaga filantropi di Indonesia.
Pembentukan Klaster ini juga diharapkan bisa membantu mengatasi dampak Kesehatan yang muncul akibat pandemi COVID-19 yang tengah melanda Indonesia yang membutuhkan sumber daya dan dukungan dari filantropi.
Peluncuran Klaster Filantropi Kesehatan ini digelar di sela-sela workshop Menggali Potensi filantropi Untuk Andil Indonesia yang digelar di jakarta, kamis siang (12/10). Acara tersebut menghadirkan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A.. MPH, mantan menteri kesehatan, sebagai pembicara utama dan dihadiri para pegiat filantropi Indonesia, khususnya yang bergerak di isu Kesehatan.
Pada acara ini Filantropi Indonesia juga mengukuhkan dan mengenalkan PKMK FK-KMK UGM dan Tahija Foundation sebagai koordinator Klaster Filantropi Kesehatan kepada para pegiat filantropi.
Hamid Abidin, Direktur Filantropi Indonesia, menyatakan bahwa pembentukan klaster Filantropi Kesehatan ini dinilai penting karena isu atau sektor kesehatan merupakan salah satu program yang banyak didukung oleh masyarakat, lembaga filantropi maupun sektor swasta.
Di sisi lain, kesehatan masih menjadi masalah utama di Indonesia yang membutuhkan banyak dukungan. Problem Kesehatan ini menjadi lebih kompleks mana kala pandemi COVID-19 melanda Indonesia dan ditetapkan sebagai bencana Kesehatan. Ditengah krisis ekonomi dan pembatasan interaksi dan mobilitas karena kebijakan PSBB, Filantropi dituntut untuk membantu pemerintah dalam
mendukung penanganan COVID-19 dan dampak sosialnya.
“Klaster Filantropi kesehatan ini diharapkan bisa menjadi forum bersama bagi lembaga-lembaga filantropi untuk andil dalam Indonesia Sehat melalui kegiatan riset, berbagi informasi, meningkatkan kapasitas, melakukan advokasi kebijakan, serta mengembangkan kolaborasi dengan
sektor lainnya,” ujar Hamid.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., Ketua PKMK FKKMK UGM (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM) menambahkan bahwa filantropi kesehatan dibutuhkan karena kondisi sektor kesehatan di Indonesia berada dalam situasi ekonomi yang sulit, dalam konteks kemampuan pemerintah untuk
mendanai sektor kesehatan. Pertumbuhan cepat Gross Domestic Product (GDP) tidak seiring dengan bertambahnya Tax-Ratio. Walaupun GDP Indonesia sudah berada di atas Rp14 ribu triliun, atau di atas USD 1 triliun, akan tetapi TaxRatio masih berkisar di antara 10-11%. Hal ini kemudian menimbulkan masalah pada kemampuan pemerintah dalam mendanai program-program pembangunan, termasuk layanan Kesehatan masyarakat. Fakta di dalam era JKN, kebijakan jaminan
kesehatan ini tidak mampu menambah besaran persentase GDP untuk kesehatan. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi penurunan share GDP untuk kesehatan yakni dari kisaran 3,5% menjadi 3,2-3,3%.
Tuntutan dan kebutuhan dukungan sumber daya untuk sektor Kesehatan semakin meningkat manakala wabah COVID-19 melanda Indonesia. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan dana kebencanaan dari APBN dan APBD untuk mendanai program pencegahan dan perawatan COVID-19, intervensi ini tentu masih akan belum cukup untuk menanggapi secara keseluruhan dikarenakan sifatnya yang kaku dan lambat sehingga sulit jika menanggapi perbedaan kondisi lapangan.
“Dengan semangat gotong-royong dan solidaritas yang meningkat di masyarakat pada masa pandemi COVID-19, filantropi memiliki peran yang besar dalam melengkapi kehadiran program pemerintah karena sifat aksinya yang fleksibel dan cepat.” kata Prof. Laksono.
Sementara Trihadi Saptoadi, Direktur Eksekutif Yayasan Tahija, meyakini bahwa dibentuknya klaster Kesehatan di Perhimpunan Filantropi Indonesia akan meningkatkan kerja sama dan kontribusi
filantropi dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
“Di klaster ini kita bisa menggalang sumber
daya dan dana masyarakat terutama para filantropis untuk membuat perubahan yang lebih baik, dan bersama-sama menawarkan solusi yang inovatif di sektor kesehatan, terutama tentu kontribusi nyata ke tujuan, target dan indikator SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang berkaitan
dengan sektor kesehatan,” katanya.
Sedangkan mantan Menteri Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi, yang tampil sebagai pembicara utama di peluncuran Klaster itu memberikan saran mengenai beberapa fokus isu dan garapan klaster filantropi Kesehatan. Menurutnya, peran dan kontribusi filantropi akan optimal jika bisa diarahkan untuk membantu mengatasi ketimpangan kondisi dan derajat Kesehatan antar daerah, khususnya Kesehatan ibu dan anak, penyakit TBC, AIDS dan malaria/DBD. Filantropi juga perlu mendukung kesenjangan antara harapan hidup (HH) dan harapan hidup sehat (HHH) yang akan menghasilkan lansia yang tidak sehat.
Menurutnya, Filantropi juga akan efektif perannya jika diarahkan untuk mendukung masyarakat dalam promosi hidup sehat dan deteksi dini.
“Kalau Masyarakat bisa diedukasi untuk bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri sebagai harta tak ternilai, maka itu bisa jadi pendekatan yang paling efektif dalam mencapai Indonesia sehat. Upaya itu bisa dilakukan secara kongkrit dengan
mengoptimalkan dan memandirikan Posyandu dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat,” katanya.
Filantropi juga bisa mendukung peningkatan kapasitas SDM layanan Kesehatan primer, membantu melakukan kajian dan penelitian. Yang lebih penting lagi, filantropi juga perlu membantu penanganan COVID-19 karena pandemi ini tidak hanya berpengaruh pada sektor Kesehatan, tapi juga seluruh sendi kehidupan masyarakat di Indonesia.
“Kalau bicara tentang gerakan kesehatan
masyarakat, kita tidak bisa menggantungkan pendanaan untuk program-program itu dari dari pemerintah, tapi perlu menggerakkan inisiatif dan dukungan masyarakat melalui filantropi. [Wnd/rls]