ChanelMuslim.com – Menjadi Jurnalis Muslim, Menjadi Saksi yang Adil, oleh: Agung Puspito
Ini untuk kamu yang masih duduk di bangku SLA maupun di bangku kuliah. Tidak semua orang mau menjadi jurnalis. Tapi, tahukah kamu, ada kaidah-kaidah jurnalistik yang membantu kamu menjadi seorang muslim yang baik, apa pun profesimu.
Jurnalisme adalah ilmu yang sangat Islami, mewarnai perutusan para nabi ke muka bumi ketika menyampaikan wahyu ilahi beserta aturan-aturan kehidupan dari Allah yang membawa keselamatan manusia di dunia dan di akhirat.
Baca Juga: Profil Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia, Roehana Koeddoes
Menjadi Jurnalis Muslim, Menjadi Saksi yang Adil
Keengganan mengetahui perbedaan antara informasi sebagai berita dan sebagai hoax (tipuan) belaka, pengetahuan mendasar jurnalisme, bisa saja membuatmu berurusan dengan polisi karena ikut-ikutan menyebarkan berita palsu.
Memeriksa Berita
Berita adalah kebenaran yang disampaikan –bukan yang disembunyikan. Kebenaran bukanlah melulu pandangan pribadi atau yang mewakili kepentingan pribadi. Para penyampai kebenaran ini terdiri atas para rasul, para nabi, para perawi hadis nabi, para dai serta mubaligh dan khotib, dan para jurnalis. Tidak main-main.
Karenanya, sumber rujukan kebenaran para jurnalis itu sama dengan rujukan para nabi, yaitu Allah. Tuhan adalah satu-satunya rujukan kebenaran yang berada di atas subyektifitas manusia dan di atas kepentingannya. Tuhan pulalah yang memberi petunjuk bagaimana semestinya menilai suatu informasi.
Hai orang-orang beriman. Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, telitilah kebenarannya (tabayyanuw) agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan, yang akhirnya membuatmu menyesali perbuatanmu.
{Quran surah 49 (Al-Hujuroot): 6}.
Orang fasik adalah orang yang dengan terang-terangan melanggar hukum Allah, padahal ia tahu dan sadar akan kebenaran hukum tersebut. Ia bisa beragama wahyu seperti Islam, Nasrani, atau Yahudi, tapi ia melanggar syariat Tuhan.
Orang-orang fusuq (melanggar) ini perlu diwaspadai sewaktu ia mengabarkan sesuatu, karena bila terhadap hukum Allah saja ia melanggarnya, apalagi terhadap hukum hasil konsensi manusia.
Orang fasik adalah yang kesaksiannya tak bisa diterima. Ia boleh diduga punya kepentingan lain dalam menyampaikan berita, termasuk kepentingan zalim yaitu mengabarkan kebohongan, memfitnah, atau mengadu domba.
Tabayyun adalah mekanisme “cek dan ricek” atau memeriksa kebenaran suatu berita dengan teliti. Itu mekanisme pembuktian berupa konfirmasi atau verifikasi. Ada metode populer di kalangan wartawan yang bisa digunakan para komunikan (penerima komunikasi) untuk memeriksa validitas berita, yaitu mekanisme 5W + 1H (what, who, where, when, why + how).
Periksalah atau –bila perlu– konfirmasikan apakah suatu berita atau sebuah gambar dapat dipertanggungjawabkan penyampaiannya: siapa saja sumber beritanya, kapan peristiwa itu terjadi, di mana dst. Bila menyangkut gambar atau imaji, apakah ia mencantumkan siapa fotografernya dan narasumber mana yang menjadi rujukannya.
Obyektivitas Jurnalistik
Sebagaimana seorang ilmuwan dan penegak hukum, seorang jurnalis mengumpulkan informasi secara obyektif untuk kemudian menafsirkannya menjadi fakta.
Jika dalam sains, obyektivitas berjarak dengan manusia dan manusia mendekatkannya dengan penelitian dan teknologi (seperti mikroskop atau teleskop), dalam jurnalisme, obyektivitas itu juga disertai teknologi perekam sebagai perpanjangan indra manusia.
Teknologi pengindra visual menyajikan data-data obyektif, apa adanya. Jurnalis pun menyampaikan informasi secara apa adanya tanpa mengubah-ubah.
Data-data yang ditangkap menggunakan teknologi itu merepresentasikan kejujuran sang jurnalis ketika ia menyampaikan apa adanya sebagaimana ditangkap piranti perekamnya.
Itu sebabnya teknologi pengindraan bisa dijadikan sarana pembuktian di pengadilan, tentunya didampingi seorang ahli atau yang berwenang menafsirkannya. Ingat penggunaan CCTV dalam kasus Jessica yang didakwa membunuh Mirna Salihin dengan kopi bercampur alkohol dan sianida.
Memang, tak semua data 5W 1H musti disertakan dalam sebuah karya jurnalistik. Tapi, sang jurnalis sebagai seorang komunikator akan memiliki catatan (record) mengenai mekanisme pengumpulan berita dan siap mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Bentuk pertanggungjawaban bisa diminta melalui hak jawab di media tempat sang jurnalis menulis, bisa juga melalui proses pengadilan.
Menjadi Saksi yang Adil
Tak ada warga yang kebal hukum, juga jurnalis. Ia berhak untuk melindungi narasumber dengan tak menyebutkan namanya (sumber anonim). Undang-undang juga mengakomodasi perlindungan narasumber ini seperti tertuang dalam UU no 40/Pers (1999) Pasal 4 ayat 4 mengenai Hak Tolak.
Tapi, jurnalis tak boleh melakukanya di depan pengadilan, ketika semua orang sama di depan hukum. Justru dari seorang jurnalislah terlebih visi yang adil dan tak memihak itu dibebankan.
Hai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walau terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika dia (terdakwa) kaya atau pun miskin, Allah lebih tahu. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala yang kamu kerjakan.
{QS 4 (An-Nisã-): 135}.
Informasi yang didapat jurnalis kemudian dirangkai menjadi suatu fakta. Merangkai fakta itu seperti menafsirkan apa yang sesungguhnya terjadi sebagaimana terlihat pada rekaman kamera, misalnya kamera video, CCTV, atau hasil teknologi visual lainnya. Sang jurnalis biasanya menambahkan hasil liputan dengan keterangan narasumber yang ahli di bidangnya, termasuk ahli agama.
Informasi berupa data-data apa adanya itu perlu disusun menjadi fakta agar pembaca, pemirsa, pengakses informasi mengetahui dari ahlinya (jurnalis) apa yang terjadi. Sang jurnalis menceritakan fakta dengan bahasa yang komunikatif, yang mudah dimengerti pengakses informasi.
Di sini, komitmen sang jurnalis untuk berpihak kepada kebenaran diuji. Tak hanya jujur apa adanya, cerita yang disampaikan jurnalis juga musti berpihak kepada kebenaran yaitu sesuai yang dikehendaki Allah. Karena kebenaran datang dari Allah.
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu-ragu”
{QS 2 (Al-Baqoroĥ): 147}.
Misalnya, wartawan meliput praktik kebudayaan tradisional di nusantara yang tampak unik dan menarik untuk diceritakan. Tapi, Allah sebenarnya melarang praktik budaya tersebut yang bertentangan dengan nilai-nilai seperti digariskan di kitab suci dan dalam hadis nabi. Maka, sang jurnalis dalam hal ini perlu menambahkan pandangan dari sisi Allah dan rasul-Nya.
Karena itu, keberadaan unsur rohaniwan atau agamawan dalam organisasi jurnalistik itu mutlak bagi jurnalis. Jurnalisme tak hanya harus obyektif, ia juga harus berpihak kepada kebenaran, tidak berpihak kepada kepentingan-kepentingan lain meski berupa kepentingan bangsa atau negara sekali pun di atas kebenaran.
Dari kompilasi hadis Shahih Muslim, perbuatan menyampaikan berita hoaks itu bahkan menentukan tempat kita di akhirat nanti. Tidak main-main.
Dari Huđzaifah, katanya Rasulullah bersabda, “Tidak dapat masuk surga, orang yang menyiar-nyiarkan berita nammaam.” Nammam artinya, ‘memfitnah’, ‘menghasut’, ‘membuat kekacauan’, ‘mengadu domba’. Perbuatan namimah ini menghalangi pelakunya dari masuk surga.
Maka, bertakwalah kepada Allah, orang-orang yang sekadar ingin meneruskan postingan orang lain yang tak bertanggung jawab.[ind]