SEPERTI diketahui, realitas saat ini banyak sekali umat Muslim yang sudah shalat, tetapi masih melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tentang fenomena ini pun, ada seseorang yang bertanya kepada Ustaz Bachtiar Nasir, Lc.
Ustaz, dalam Al-Qur`an, Allah Subhanallahu ta’ala menegaskan bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Namun, dalam kehidupan nyata dan realita sehari-hari, kita sering melihat dan mendapatkan orang yang melaksanakan shalat, tapi akhlaknya buruk.
Dia tidak baik sama tetangga, korupsi, menipu, selalu ingkar janji, memakan hak orang lain dengan cara yang batil dan berbagai akhlak dan perilaku buruk lain yang tidak mencerminkan shalat yang dia lakukan.
Yang ingin saya tanyakan shalat yang bagaimana yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar itu, Ustaz?
Baca Juga: Jika Shalat Kelebihan Rakaat, Apa yang Harus Dilakukan?
Sudah Shalat, tetapi Masih Melakukan Perbuatan Keji dan Mungkar
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45).
Memang dalam ayat di atas, Allah Subhanallahu ta’ala menegaskan bahwa shalat yang selalu kita lakukan akan mencegah kita dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar yang dilarang oleh Allah Subhanallahu ta’ala.
Namun, apakah semua shalat yang kita lakukan sehari-hari itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar?
Dengan melihat realita yang ada, tentu kita mengatakan dengan tegas bahwa tidak semua sholat dapat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Bahkan shalat yang kita lakukan bisa menjadikan kita semakin jauh dari Allah Subhanallahu ta’ala, sebagaimana yang dijelaskan dalam atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas:
Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar, maka ia tidak akan menambah sesuatu pun dari Allah kecuali semakin jauh. (HR. Ahmad).
Bahkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah disebut-sebut banyak shalat, puasa dan sedekahnya, hanya saja ia suka menyakiti tetangga dengan lisannya, lalu beliau bersabda, “Ia berada di neraka.” Ia kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah dikenal sedikit puasa, sedekah dan shalatnya, hanya saja ia suka memelihara kucing, dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya, lalu beliau bersabda: “Ia berada di surga.” (HR. Ahmad).
Para ulama menjelaskan bahwa shalat yang dapat mencegah kita dari perbuatan yang keji dan mungkar adalah shalat yang kita lakukan sesempurna mungkin, yaitu cukup segala syarat dan rukunnya, kemudian dilakukan dengan menghadapkan sepenuh hati dan jiwa kita, menghinakan diri di hadapan Allah Subhanallahu ta’ala, menunjukkan penghambaan diri dan pengakuan akan kefakiran diri di hadapan-Nya.
Barangsiapa yang ketika mengerjakan shalat, tidak ada semua itu di dalam hatinya maka shalatnya tidak akan mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan di antara makna ini adalah selalu menunaikannya dan melaksanakan segala ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan shalat tersebut.
Kemudian, Allah memberitahu hikmah dari sholat itu bahwa ia dapat mencegah orang yang mendirikan shalat itu dari perbuatan keji dan mungkar.
Hal itu karena dalam sholat itu ada bacaan Al-Qur`an yang mengandung nasihat, dan orang shalat itu semua anggota badannya sibuk dengan sholat yang ditunaikannya sehingga ketika orang yang shalat itu memasuki tempat shalatnya, khusyu’ dan berserah diri kepada Tuhannya, selalu mengingat bahwa dia berdiri di hadapan Tuhannya dan meyakini bahwa Allah selalu mengetahui dan melihatnya.
Maka, jiwanya akan baik dan selalu merasa diawasi Allah, dan itu akan terlihat melalui anggota badannya. Dan belum hilang pengaruh shalat yang sebelumnya, sholat yang berikutnya datang lagi dan begitu seterusnya hingga keadaannya semakin baik.
Para ulama menjelaskan jika kamu ingin mengetahui apakah kamu telah menunaikan shalatmu dengan sempurna atau tidak maka lihatlah berapa banyak kamu melanggar perintah Allah Subhanallahu ta’ala.
Berapa banyak kamu bermaksiat kepada Allah Subhanallahu ta’ala sebanyak itulah dikurangi dari nilai shalatmu, dan seberapa baik shalat yang kamu lakukan dari segi rukun, wajib, sunnahnya dan kekhusyu’an dalam melaksanakannya maka sebaik itu pulalah sholat itu akan mencegahmu dari perbuatan keji dan munkar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya bila seorang hamba telah selesai dari shalatnya, maka tidak ditetapkan balasan dari shalatnya kecuali ada yang mendapat setengahnya, ada yang mendapat sepertiganya, ada yang mendapat seperempatnya, ada yang mendapat seperlimanya, ada yang mendapat seperenamnya, ada yang mendapat sepertujuhnya, ada yang mendapat seperdelepannya, ada yang mendapat sepersembilannya, dan ada yang mendapat seperesepuluhnya.” (HR. Abu Daud, al-Nasa`i dan Ibnu Majah).
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa menjelaskan bahwa sholat itu jika dilaksanakan sebagaimana diperintahkan maka ia akan dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan jika ia tidak dapat mencegah maka itu menunjukkan bahwa ada hak-hak shalat itu yang diabaikan atau ditinggalkan, meskipun yang melakukannya mengikuti perintah. Allah Subhanallahu ta’ala berfirman:
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat. (QS. Maryam [19]: 59).
Menyia-nyiakan shalat itu maksudnya melalaikan ketentuan-ketentuan yang wajib dalam shalat tersebut, meskipun ia melakukan shalat itu.
Jadi kalau shalat kita belum bisa mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, dan jika shalat kita belum bisa membuat kita merasa selalu diawasi Allah Subhanallahu ta’ala serta merasa takut akan pengadilan dan hukum Allah ta’ala nanti di hari semua orang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Hakim yang Maha adil.
Maka, berarti shalat kita masih hanya sekedar ritual ibadah untuk lepas dari kewajiban saja tanpa ada kehadiran hati, tanpa kekhusyu’an, badan kita melaksanakan shalat, tetapi hati kita entah berada dimana, tidak hadir di hadapan Allah Subhanallahu ta’ala.
Semoga kita termasuk golongan yang selalu memperbaiki shalatnya sehingga dapat mencapai derajat sholat yang dapat mencegah kita dari perbuatan yang keji dan mungkar karena itulah shalat yang sebenarnya.
Wallahu a’lam bish shawab. [Ind/aql/Cms]