ChanelMuslim.com–Sahabat adalah dirimu yang kedua. Kata-kata itu saya kutip dari “ayah Pidi Baiq”, sang penulis novel Dilan yang fenomenal itu. Kalau saya terjemahkan lebih lanjut, sahabat adalah manifestasi dari diri kita sendiri. Bagaimana kita memberi, begitu pula kita menerima. Tulus jadi kata kuncinya. Ikhlas yang mengikatnya. Dan persahabatan bukanlah tentang kata-kata manis tetapi tentang bagaimana menghadapi pahit manis bersama-sama.
Hari ini saya berbicara tentang persahabatan dan ini bukan hanya tentang kisah saya tetapi juga kisah teman-teman semua. Lihatlah kanan kiri teman-teman, kalau tidak cukup periksalah phonebook ponsel masing-masing, jika masih ragu periksa chat demi chat di beragam media sosial yang dimiliki : banyak teman yang pasti kita punya tetapi sangat sedikit sahabat untuk berbagi semuanya. Begitu mudahnya mendapatkan teman tetapi sangat sulit untuk menjaga persabahatan. Sahabat itu seperti logam mulia, susah mendapatkannya tetapi begitu punya nilainya tidak terkira.
Soal persabahatan ini, izinkan saya berbagi cerita ketika masih mengenyam pendidikan di bangku SMA Pangudi Luhur Jakarta. Sebagai “murid asing” karena berasal dari SMP Negeri saya butuh waktu untuk beradaptasi di lingkungan SMA Katholik tersebut. Untungnya saya menemukan dua orang sahabat yang selama tiga tahun kemudian menjadi kawan seiring dan seperjalanan saya di SMA PL; Rosan dan Panji.
Persahabatan kami bukan hanya sebatas di sekolah tetapi juga luar sekolah. Tidak hanya mengenai pelajaran tetapi juga menyerempet masalah pacaran. Dan sebagaimana masa remaja, persahabatan kami juga tidak luput dari “hal-hal ajaib” : sesuatu yang tampak konyol di masa lalu tetapi jadi jalinan sejarah yang membentuk masa depan.
Salah satu cerita menarik adalah saat pemilihkan ketua OSIS, di SMA PL kami menyebutnya PPSK (Persatuan Pelajar Sekolah Katholik). Saat pemilihan ketua PPSK, kami satu jurusan sudah bulat suara untuk mencalonkan Anto sebagai kandidat ketua. Tetapi keputusan aklamasi itu kemudian “dirusak” oleh Rosan dan Panji yang menginginkan pemungutan suara, ada calon lain yang mereka majukan.
Celakanya, nama saya yang mereka munculkan. Jangankan teman-teman satu jurusan, saya sendiri tidak pernah merasa diri pantas untuk jadi ketua PPSK. Tetapi apa daya, usul mereka diterima, saya terpaksa menantang Anto di kotak suara. Hasilnya sudah bisa diduga, Anto menyapu semua suara kecuali dua. Bahkan saya sendiri memilih Anto. Dua suara untuk saya itu sudah pasti dari Panji dan Rosan.
Dulu saya merasa dikerjai oleh mereka berdua. Tetapi setelah saya renungi lebih dalam, saya menemukan arti persahabatan dalam kekonyolan itu. Dua sahabat itu menunjukkan pada saya, betapa besarnya kepercayaan mereka kepada saya bahkan ketika saya tidak percaya sepenuhnya pada diri sendiri. Benar juga kata ayah Pidi Baiq di atas, sahabat adalah kita yang lain. Sahabat adalah energi besar yang tidak sempat keluar karena kita enggan menantang diri sendiri. Karena sempat jadi kandidat jurusan ini kemudian, ketika kepengurusan PPSK terbentuk, saya diminta jadi Bendahara. Jabatan yang ternyata kemudian menjadi salah satu titik penting dari dunia yang saya geluti yaitu finance.
Kisah kecil saya tentu tidak sebanding dengan keagungan persahabatan di jaman Nabi Muhammad SAW. Rasulullah mengabarkan Islam pertama kali pada keluarga dan sahabat terdekat beliau. Maka dalam siroh nabawiyah kita mengenal As-Sabiqun Al Awwalun, para pemeluk Islam pertama dari keluarga dekat dan sahabat. Keutamaan pribadi nabi memikat mereka, keagungan nilai yang disampaikannya membangun kesetiaan dan jalinan kuat persahabatan menciptakan semangat pengorbanan yang akan jadi teladan sepanjang masa.
Kita tentu ingat bagaimana kisah Abu Bakar Siddiq yang jadi pembela awal nabi di periode awal ke-Islaman, Umar bin Khattab yang jadi benteng tidak tergoyahkan, Ali Bin Abi Thalib yang rela menggantikan nabi di tempat tidur ketika kafir Qurays hendak membunuh beliau atau Ustman bin Affan, sang saudagar yang tanpa ragu menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam. Tidak terhitung pengorbanan sahabat-sahabat lain baik dari kalangan muhajirin maupun Anshor. Kokohnya semangat persahabatan itulah yang menciptakan sejarah besar di dunia. Dari padang pasir yang tandus, Islam kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Kisah persahabatan yang sama akan kita temukan dari para pendiri bangsa ini. Dwitunggal kita, Bung Karno dan Bung Hatta, memang tidak selalu sejalan tetapi persahabatan keduanya kekal hingga salah satu dijemput oleh Yang Kuasa. Dokter Johannes Leimena dan Mr Sjafrudin Prawiranegara mungkin berbeda pandangan soal perjanjian dengan Belanda tetapi dokter Leimena lah yang menjemput Mr Sjafrudin ke pedalaman Sumatera setelah Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Begitu juga dengan pemimpin-pemimpin yang biasa berdebat di parlemen : Mohammad Natsir dengan IJ Kasimo, Burhanudin Harahap dengan Ida Anak Agung Gede Agung, Prawoto Mangkusastro dengan Herman Johannes dan puluhan pendahulu lainnya. Negara kita dibangun oleh sahabat-sahabat yang memikul tugas dengan cara mereka masing-masing. Negara ini sejak berdirinya sudah beragam pemikirannya, berbhinneka manusianya tetapi terikat dalam semangat persahabatan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bukan mencari selamat untuk dirinya sendiri-sendiri tetapi berjuang mencari keselamatan untuk bangsa dan negara yang dicintai.
Kenapa tiba-tiba saya bicara tentang persahabatan? Tidakkah ini terdengar terlalu sentimentil? Bukankah lebih banyak persoalan mendesak yang harusnya kita bicarakan?
Justru karena situasi mendesak sekarang ini, persahabatan kita diuji. Mampukah kita menetapkan pilihan pada sahabat sepanjang usia dengan meminggirkan kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat jangka pendek? Bisakah kita merawat persahabatan dengan tulus tanpa embel-embel lain yang menyertainya? Dan yang lebih penting dari itu semua, untuk sahabat kita, bisakah kita jadi orang yang sama walaupun berada di sisi yang berbeda?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting untuk dijawab karena zaman yang kita hadapi sungguh tidak mudah. Tidak kurang Bung Karno sudah memperkirakan jauh-jauh hari dengan mengatakan, “perjuanganku lebih mudah karena menghadapi bangsa asing tetapi perjuangan kalian akan lebih berat karena menghadapi bangsa sendiri”. Dan perjuangan itu akan semakin terasa berat manakala kita menghadapi sahabat-sahabat sendiri. Tetapi itulah tantangan yang harus dihadapi.
Sebagaimana mahalnya harga persahabatan, maka menciptakan jutaan sahabat-sahabat baru di seluruh pelosok Indonesia adalah tugas mulia. Sahabat kita adalah mereka yang percaya bahwa perubahan itu niscaya, mereka yang enggan berpangku tangan, mereka yang terus merawat bangsa dengan kerja nyata serta siap untuk menghadapi tantangan utama bangsa ini : lapangan kerja dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok.
Persahabatan melahirkan kesetiakawanan. Dan kesetiakawanan itu jadi modal besar kita untuk mengatasi persoalan. Masalah lapangan kerja dan tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok butuh sensitifitas sosial yang lahir dari semangat kesetiakawanan. Dan kita bangsa Indonesia, sudah merumuskannya dalam semangat gotong royong. Sayangnya semangat ini sering terlupakan karena ada yang menganggap kritik sebagai serangan, sehingga bukannya merumuskan persoalan yang dilakukan tetapi menutupi persoalan yang satu dengan persoalan lainnya.
Sahabat datang dan pergi. Kita pribadi lah yang menentukan nilai dari persahabatan itu. Apakah sekedar jadi kenangan indah di masa lalu atau mampu jadi energi untuk masa depan?
Untuk Indonesia yang adil dan makmur. Carilah TTM sebanyak-banyaknya, Teman Tulus Membangun. Jangan lupa TTDJ, Ati-Ati Dikasih Janji. Jauhilah mereka yang PHP, Pemimpin Hanya Pencitraan.
Terakhir, jangan menyerah, teruslah PDKT: Peduli, Dedikasi, Kolaborasi dan Teruji.[ind]
**Tulisan ini diposting di akun FB Sandiaga Salahuddin Uno pada Jumat (25/1/2019).