ChanelMuslim.com – Adalah Asrofi (70) dan istri Mutiatun (65), jemaah haji Kloter lima Embarkasi Surabaya (SUB 05) menginspirasi keluarga muslim untuk semangat menunaikan haji.
Diceritakan oleh tim Humas Kemenag RI saat menemui pasangan suami istri yang sedang menunggu keberangkatan ke tanah suci di teras salah satu gedung akomodasi Asrama Haji Sukolilo ini bisa berangkat haji tahun ini ibarat panen raya bagi para buruh tani asal Banyuwangi ini.
“Alhamdulillah, wong ndak pernah mengira bisa berangkat haji. Kami hanya berusaha, ”tutur Mutiatun sambil menyeka air mata dengan tangan rentanya.
Sesaat kemudian, ia tampak menerawang, mengingat kembali perjuangan panjangnya bersama suami untuk dapat mendaftar haji.
Biaya yang sangat tinggi pada kisaran ribu, sangat berat bagi mereka yang hanya bekerja sebagai tenaga tani dan pemeliharaan kambing.
Apalagi, Asrofi hanya buruh tanam padi bagi para pemilik sawah di desanya. Sementara Mutiatun, lebih banyak lagi tinggal di rumah untuk merawat anak-anak mereka. Sesekali saja ia membantu suami menjadi buruh tandur.
“Ya memang sejak awal nikah pekerjaannya ya buruh tani. Nah sekarang Bapake saat bungkuk, karena ya nunduk terus nandur di sawah, ”kata Mbah Mutiatun sambil menatap lelaki tua yang sudah menikahinya sejak 1974 itu dengan mata berkaca-kaca dikutip laman kemenag.
Senyum tampak tersungging di wajah lelaki tua itu. Seperti sang istri, matanya pun berkaca-kaca saat menuturkan awal mula ia berniat pergi haji.
“Penghasilan buruh tani kan tidak tentu. Tapi saat tahun 1993, saya mulai niat untuk bisa pergi haji, ”kenangnya terbaru.
Menurut Asrofi, pergi haji ke Tanah Suci adalah kewajiban tiap muslim. Maka, untuk mencapainya tetap harus diusahakan.
“Waktu itu ya berat. Jika kami harus menghidupi empat orang anak. Masih ada yang sekolah, masih ada yang di pondok pesantren Mambaul Ulum, Mbarasan, Banyuwangi, ”ujar Mutiatun menambahkan.
Meski hidup dengan kondisi ekonomi terbatas, pasangan Asrofi dan Mutiatun berprinsip bahwa agama itu utama. Demikian, meskipun kondisi serba terbatas, baiklah berikhtiar maupun rukun islam yang kelima. Mereka sisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.
Sejak 1993, mereka mulai menabung, bukan bank, atau lembaga penyimpanan resmi, di bumbung bambu yang mereka buat sendiri.
“Ya nabungnya di rumah, ditaruh di bumbung bambu, dilubangi, kemudian uangnya ditaruh di situ,” cerita Asrofi.
Penghasilan yang mereka dapat tidak pernah besar. Menjadi buruh tandur di masa itu, ia dan suami hanya dibayar Rp.30 ribu / hari. Perlahan dari upah buruh, mereka berhasil mendapatkan sebidang tanah seluas 1.750 m2 yang hanya ditanam di kedelai atau padi. Jika sedang beruntung, mereka bisa memanen, yang berarti ada tambahan bagi keluarga ini. Untuk sekali musim panen, mereka mendapat penghasilan sekitar empat juta rupiah.
“Itu tiga bulan sekali, dan masih kotor,” kata Asrofi.
Lagi-lagi, pertumbuhan tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga dengan empat orang anak. Tapi toh hal ini tak menyurutkan niat keduanya. Impian mereka adalah, maju ke Tanah Suci.
Maka bumbung-bumbung bambu itu makin penuh isi. Meski mereka tak pernah tahu kapan akan mencukupi untuk mendaftar haji.
“Uangnya sudah sudah ndak bagus lagi,” ujar Mutiatun menambahkan.
Atas izin Allah, kerja keras mereka berbuah manis. Setelah kurang lebih 17 tahun menabung, pasangan ini mendaftar haji pada 2010.
“Uangnya ya gak cukup dari yang ditabung, itu dibantu oleh anak pertama yang sudah bekerja di Riau,” kata Asrofi.
Dengan berurai air mata, Mutiatun mengaku senang karena Allah mengabulkan dahsyatnya lewat selat yang dititipkan pada keduanya.
“Alhamdulillah anak saya yang lain pun sekarang masih di pondok. Membantu romo kyai mengajar juga, ”tutur Mutiatun.
Masya Allah, kisah yang memotivasi kita untuk bersemangat mengenapkan rukun Islam yang lima berhaji bagi yang mampu.
Semoga menjadi haji mabrur dan berkumpul dengan keluarga kembali. (jwt/kemenag)