IMAN menyatukan hati umat Islam dalam sebuah persaudaraan. Ikatannya lebih erat daripada saudara sekandung.
Ada dua sosok mulia sahabat Nabi yang begitu kuat ikatan persaudaraannya. Keduanya adalah Abu Huzaifah bin Utbah dan Salim Maula Huzaifah radhiyallahu ‘anhuma.
Abu Huzaifah adalah saudara kandung Hindun, istri Abu Sufyan. Mereka merupakan keluarga terhormat, petinggi dari pemimpin Mekah waktu itu. Bahkan ayah Abu Huzaifah, Utbah bin Rabi’ah, sudah menyiapkan Abu Huzaifah sebagai pengganti Abu Sufyan, menantunya.
Di luar dugaan mereka, Abu Huzaifah justru masuk Islam. Sahabat Nabi yang usianya lebih muda 11 tahun dari Nabi ini masuk Islam di urutan ke-44 orang-orang pertama yang masuk Islam.
Saat itu, Abu Huzaifah memiliki seorang budak bernama Salim. Ia berasal dari tanah Persia. Ayah dan nasabnya tidak diketahui. Salim dibeli keluarga Abu Huzaifah di pasar budak di Mekah saat masih kecil.
Melihat Salim sangat baik dan cerdas, Abu Huzaifah dan istri pun mengajak Salim masuk Islam. Ia menerima dengan suka cita dan semangat.
Sebegitu sayangnya dengan Salim, Abu Huzaifah mengangkat Salim sebagai anak. Tapi, turun firman Allah yang melarang mengangkat anak dengan menghapus nasab asal anak tersebut. Akhirnya, nama Salim tetap dilekatkan dengan Abu Huzaifah dengan sebutan Salim Maula Abu Huzaifah, atau Salim bekas budak Abu Huzaifah.
Sebenarnya, maksud Abu Huzaifah mengangkat Salim sebagai anak untuk menaikkan derajat status sosialnya. Karena hal itu dilarang Islam, Abu Huzaifah pun menikahkan Salim dengan keponakannya yang juga keturunan pembesar Quraisy.
Ada yang istimewa dari Salim. Rasulullah mengagumi Salim dalam hal keilmuannya tentang Al-Qur’an. Mulai dari tilawahnya, hafalannya, dan pemahamannya.
Di sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merekomendasikan nama Salim sebagai salah seorang dari empat sahabat yang dijadikan rujukan tentang ilmu Al-Qur’an.
Ketika peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah, para sahabat Muhajirin lebih dulu tiba di Madinah daripada Nabi dan Abu Bakar. Sementara shalat berjamaah sudah berlangsung di Masjid Quba Madinah.
Sambil menunggu tibanya Rasulullah di Madinah, para sahabat bersepakat untuk mengangkat Salim sebagai imam shalat. Padahal, di situ ada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat mulia lainnya.
Kebersamaan Salim dan Abu Huzaifah akhirnya mesra lagi di Madinah, setelah keduanya hijrah. Di saat perang Badar, Salim dan Abu Huzaifah selalu bersama di barisan mujahidin. Sementara di barisan kafir Quraisy, ada ayah, kakak, dan paman Abu Huzaifah, Utbah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Utbah.
Ketika Perang Badar berakhir, Abu Huzaifah mendapati mayat-mayat pasukan Quraisy. Di antara mereka ada mayat ayahnya, kakaknya, dan pamannya. Justru, Abu Huzaifah mengatakan, “Alhamdulillah kemenangan untuk pasukan Islam.”
Persaudaraannya karena Islam jauh lebih kuat daripada persaudaraan karena sekandung.
Dalam Perang Yamamah melawan orang-orang yang murtad setelah Nabi wafat, Salim dan Abu Huzaifah selalu bersama. Posisi mereka selalu berdekatan.
Saat itu, panji Islam dipegang oleh Salim. Ia memegang simbol panji Islam semacam bendera dengan kedua tangannya. Seorang musuh menebas tangan kanannya. Salim memegang dengan tangan kirinya. Ketika tangan kirinya juga ditebas, ia memeluk dengan lengannya. Tapi, akhirnya ia tersungkur jatuh.
Ketika peperangan itu usai, Panglima Khalid bin Walid menemui Salim yang sedang sekarat. Salim bertanya ke Khalid, “Bagaimana keadaan pasukan kita?”
Khalid menjawab, “Pasukan Islam berhasil memenangkan peperangan.”
Salim bertanya lagi, “Bagaimana keadaan saudaraku, Abu Huzaifah?”
Khalid menunjukkan jasad Abu Huzaifah dengan isyarat tangannya. Jenazahnya berada di sebelah kaki Salim. Tak lama, Salim pun wafat. Keduanya seperti bersepakat untuk sehidup semati, meskipun bukan saudara sekandung, tapi dalam persaudaraan Islam.
**
Cintailah saudara kita dalam Islam sebagaimana kita mencintai saudara kita yang seibu seayah. Bahkan ikatan Islam jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Karena ikatannya berdimensi dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan, “Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i) [Mh]