SURAT cinta itu seperti ‘ruh’. Rahasianya sulit diceritakan. Tapi, ia seperti bisa ‘menghidupkan’ dan ‘mematikan’ semangat.
Seorang anak yatim merasa nyaman tinggal di sebuah pesantren. Ia rela meninggalkan ibu tercintanya nan jauh di seberang pulau demi khazanah ilmu.
Rasanya, ia harus menerima berbeda sarana dengan santri-santri lain. Mereka bisa kapan saja ngobrol dengan ibu melalui hape. Bahkan, beberapa bulan sekali mereka bisa berjumpa ibu-ibu mereka yang datang mengunjungi.
Si yatim ini tak punya hape. Tak juga mau mengkhayal kalau ibunya akan sering datang berkunjung. Jauh sekali. Ia baru akan bisa menjumpai ibu kalau sudah lulus nyantri.
Namun begitu, guru dan teman-teman santrinya heran dengan ketenangan dan semangat si yatim. Kok bisa, semangat belajarnya terus oke meski begitu lama tak bertemu ibu.
Yang mereka tahu, kalau si yatim sedih atau dapat nilai minus, ia kerap duduk sendirian di tempat sepi: di taman, di perpustakaan, atau di mana saja yang tidak ada orang.
Dan beberapa menit kemudian, ia akan segar lagi, semangat lagi, seolah tak ada masalah.
Seorang guru begitu penasaran. Ia sembunyi-sembunyi mengikuti si yatim dari kejauhan. Apa yang dilakukan si yatim sehingga bisa ‘segar’ lagi jika ada masalah. Jangan-jangan….
Sang guru mengamati si yatim dari kejauhan saat duduk sendirian. Saat itu, sang guru melihat si yatim mengeluarkan kertas dari saku bajunya. Lama si yatim menatap kertas itu. Dan seperti ‘jimat’, perubahan positif terjadi mendadak seperti ‘bim salabim’.
“Aih, kertas apa ya yang disembunyikan si yatim?” ucap batin sang guru begitu penasaran.
Ia khawatir santrinya melakoni jalan yang salah, yang bertentangan dengan akidah Islam. “Ah, semoga saja tidak,” ujar batinnya lagi.
Sang guru pun menemukan cara untuk mengetahui apa isi kertas itu. Diam-diam, ia memasuki ruang tidur si yatim dan para santri yang tidur bersama saat mereka sedang tidur pulas di malam hari.
Ia dekati si yatim, dengan pelan-pelan dan hati-hati. Ia melihat seperti sebuah kertas ada di balik saku baju si yatim. Dan kertas itu pun berhasil ia ambil tanpa membuat si yatim terbangun.
Penasaran sang guru akhirnya terjawab setelah ia membuka kertas misterius itu. Di selembar kertas itu terdapat tulisan tangan.
Isinya: anakku sayang, kamu anak ibu paling soleh. Anak paling baik, paling rajin, paling sabar, dan paling cerdas. Jangan gampang menyerah, ya, Nak! Insya Allah doa ibu selalu bersamamu.
Sang guru begitu haru. Hampir saja ia menangis di situ. Ia baru menyadari, kalau surat singkat inilah yang selalu ‘menghidupkan’ semangat si yatim dalam kondisi berat apa pun.
**
Kita kadang seperti si yatim yang mengalami tantangan berat, cobaan berat, dan segala hal yang melemahkan semangat hidup.
Sayangnya, kita tidak seperti si yatim yang secara khusus selalu membuka ‘surat cinta’ dari sosok yang sangat mencintai kita.
Sosok siapa lagi yang lebih dahsyat cintanya kepada kita daripada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Surat cintanya begitu dekat dengan kita: ada di rumah kita, ada di hape kita, bahkan mungkin sebagiannya kita hafal.
Namun, kita seperti lebih memperlakukan surat cinta itu sebagai ‘surat tagihan dan surat perintah’ daripada surat cinta dari Yang Maha Penyayang. [Mh]