ISTRI itu seperti mutiara dalam kerang. Meski tersembunyi dalam cangkang yang keras, keberadaannya sangat menentukan.
Setiap wanita mengidamkan menjadi istri. Istri dari seorang suami yang dicintai. Dan, ibu dari anak-anak yang berbakti.
Di balik kehebatan seorang tokoh, selalu ada sosok istri yang hebat. Ia ikut menentukan nilai kehebatan suaminya.
Dan di balik kehebatan seorang tokoh pula, selalu ada ibu yang sukses sebagai madrasah untuk putra-putrinya.
Dua peran itu inheren, terpisah tapi dalam satu kekuatan energi. Istri menjadi energi untuk suami, dan di saat yang sama juga sebagai murobi bagi anak-anaknya.
Ia bukan hanya sebagai bunga yang harum untuk kesegaran suami. Tapi juga menjadi inspirasi gerak suami. Teman yang asyik untuk diskusi. Kekasih yang selalu hangat untuk menumpahkan curahan hati suami.
Istri juga ibu yang menjadi panutan untuk anak-anak. Gudang ilmu untuk seribu satu rasa ingin tahu anak-anak. Bukan sekadar tentang teori-teori hidup. Lebih dari itu, sebagai pemandu arah.
Karena itu, bukan sekadar cantik yang menjadi modal utama. Tapi juga kaya dengan khazanah cinta. Karena cinta yang kaya tidak hanya bersinar di kala suka, tapi juga di saat duka, di saat marah, dan di saat langkah terasa begitu berat.
Ada satu harta seorang istri yang begitu luar biasa. Sebegitu luar biasanya, kadang samar dalam rutinitas rumah tangga. Yaitu, keikhlasan.
Semua produk keluarga ketika menemukan nilai spesialnya di masyarakat, sosok istri jarang ‘tersentuh’. Yang disorot siapa kepala rumah tangganya. Atau siapa anak-anaknya.
Misalnya, ketika seorang ulama menjadi rujukan utama umat, orang akan bertanya siapa bapaknya. Siapa gurunya. Jarang yang bertanya siapa istri atau ibunya.
Padahal, siapa pun mereka yang sukses, tak akan bisa lepas dari kerja keras istri atau ibu. Sosok yang menjadi sumber utama energi mereka.
Seorang istri kadang mencari wasilah untuk menambah kepercayaan diri. Di saat dirinya terasa seperti tak cantik lagi, ia ‘menambah’ cantiknya dengan polesan make up. Kadang memilih busana yang menunjukkan bahwa dirinya masih tetap muda.
Kadang, ‘teror’ kekhawatiran suami nikah lagi menjadikannya kian gigih bertarung tentang cantik dan molek dari dirinya. Saat itu ia seperti lupa, bahwa cantik dan percaya diri bukan pada polesan wajah. Melainkan pada keindahan hati.
Keindahan hati lahir bukan dari perawatan fisik. Tapi dari perawatan jiwa melalui aktivitas taqarrub kepada pemilik hati yang sebenarnya: Allah subhanahu wata’ala.
Istri bukan sekadar tentang cantik. Bukan pula terampil dan terpandang di masyarakat. Istri adalah ketika lahirnya totalitas keikhlasan untuk memuliakan dua objek sekaligus: suami dan anak-anak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu perhiasan. Dan sebalik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim) [Mh]