HATI itu wadah yang bisa menampung apa saja. Termasuk makhluk jahat yang disebut setan.
Kelak di Hari Akhir, Iblis si raja setan diberikan kesempatan berpidato. Iblis mengatakan, jangan salahkan aku karena kalian ingkar. Salahkan diri kalian sendiri karena mau ‘berteman’ dengan setan.
Iblis dan setan memang sudah jelas salah. Sudah jelas jahat. Pertanyannya, kenapa kita bisa berteman dengan mereka?
Kitalah tuan terhadap hati kita sendiri. Seperti wadah, kita sendirilah yang rela menampung yang disukai. Dengan kerelaan kita menampung asma Allah dalam hati kita. Dan dengan kerelaan pula, kita menampung setan dalam hati kita.
Setan memang datang dengan tipu daya. Ketika dia belum dapat tempat di hati, dia akan menggoda. Dia memposisikan diri sebagai teman.
Ketika kita ‘welcome’ dengan kehadiran setan di hati, kita sebenarnya sedang ‘memelihara’ setan. Kita memberinya tempat tinggal. Kita menyediakan makan. Kita menemaninya dengan perilaku yang dia suka. Bahkan, kita juga memanjakannya.
Setan tahu benar bahwa simbiosis mutualisme antara dia dengan mangsanya ada di nafsu. Seolah nafsu menjadi tunggangan ideal untuk bisa mengendalikan mangsanya.
Awalnya sebagai teman. Tapi pada akhirnya setan akan menjadi tuan dari mangsanya. Dia yang akan menjadi pengendali.
Persis seperti seseorang yang memelihara anak serigala. Ketika kecil begitu lucu dan menggemaskan. Tapi ketika besar, dia memangsa tuannya. Bahkan, setan lebih jahat dari itu. Karena setan mengajak mangsanya untuk melawan Allah subhanahu wata’ala.
Hal ini Allah firmankan dalam Surah Al-Baqarah ayat 169: “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.”
Jadi, setan bukan hanya memotivasi kita untuk korupsi, untuk berzina, untuk membunuh, untuk zalim kepada yang lemah, untuk durhaka pada ayah bunda, untuk berkhianat pada saudara seiman; tapi juga membangkang Allah subhanahu wata’ala.
Kalau Allah mengajarkan hablum minalla dan hablum minannas, setan sebaliknya: jahat kepada manusia dan melawan Allah.
Ada sedikit catatan, setan tidak memaksa. Setan tidak mengancam. Setan tidak juga membunuh kita jika melawannya. Setan hanya memberikan ‘inspirasi’: kehadiran tanpa wujud.
Sekali lagi, kitalah yang mempersilakan setan mengendalikan hati kita. Kuncinya satu: jangan manjakan nafsu. Jika kendaraannya dikekang, setan tak bisa berbuat banyak.
Pertanyaannya kembali ke kita: apakah kita ingin berteman atau memusuhi setan? Lakukan apa yang tidak disukai nafsu, maka setan akan tersiksa. Tapi jika ingin memeliharanya, silakan manjakan nafsu sesuka yang diinginkan. [Mh]