DINAS Pertanian, Ketahanan Pangan dan Peternakan (DPKPP) Kota Solo mendata ada 27 warung yang menjual olahan daging anjing. Perdagangan daging anjing di Solo ini masih marak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kepala DPKPP Solo, Eko Nugroho Isbandijarso mengungkap, berdasarkan pendataan, ada puluhan warung daging anjing yang beroperasi di Solo. Warung tersebut membutuhkan 90 hingga 100 ekor anjing setiap harinya.
“Kalau di kami data sekitar warung ada 27 pendataan kita berapa daging sehari kurang lebih 90-100 ekor per hari dari 27 itu,” beber Eko dikutip dari detik Jateng.
Eko mengatakan 27 pedagang daging anjing itu berjualan dengan sembunyi-sembunyi.
Baca Juga: 5 Macam Najis yang Bersumber dari Tubuh Manusia
Sebanyak 27 Warung Makan Jual Daging Anjing di Solo, Pemkot Sebut Belum Ada Regulasi Pelarangan
Eko mengatakan, anjing masuk ke daging ilegal. Dirinya juga telah melakukan komunikasi dan edukasi terkait masalah tersebut.
“Karena anjing termasuk ilegal kita pendekatan sebatas ada komunikasi dan edukasi kita kalau masalah itu ya, kita lakukan sosialisasi dengan penjual anjing itu dan masyarakat dengan efek negatif,” katanya.
Menurunnya, penjualan daging anjing sulit diberhentikan lantaran adanya peminat di Kota Solo terhadap masakan daging anjing. Ia mengaku bahwa untuk kebutuhan daging anjing dipasok dari Jawa Barat.
“Namun sampai saat ini belum berhasil karena budaya kesukaan mengonsumsi daging anjing dan bahan daging dari Jawa Barat, adanya semacam kebutuhan dan produsen serta konsumen masih berlangsung,” bebernya.
Sementara itu Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa menyebut penutupan warung yang menjual makanan dari daging anjing tidak bisa dilakukan secara semena-mena mengingat keadilan untuk pedagang juga harus diperhatikan.
“Itu pekerjaan seseorang, kebiasaan juga melalui proses. Nggak bisa semata-mata pemerintah melarang, pasti ada tahapan,” kata Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa di Solo, Jawa Tengah, Senin, dikutip dari Antara.
Mengenai aturan tentang penutupan warung daging anjing, dikatakannya, belum ada regulasi dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, menurut dia pemerintah daerah juga tidak bisa mengatur terkait penutupan mengingat belum ada turunan dari pusat.
“Kami bikin regulasi kan dari pusat. Kami bisa mengatur kalau ada turunan regulasinya. Local wisdom boleh-boleh saja, kearifan lokal nggak masalah, tapi induk regulasi harus ada,” katanya.