DAG dig dug pengantin baru. Seribu satu rasa datang tak bilang-bilang. Ada was-was, bingung, dan juga penasaran.
Pengantin baru merupakan salah satu fase hidup yang paling ditunggu-tunggu. Meski begitu, tak semua siap mengolah seribu satu rasa yang bisa datang dan pergi.
Tips berikut ini boleh jadi bisa menjadi masukan. Hal ini agar pengantin baru menjadi pintu gerbang yang membahagiakan.
Satu, Tidak Terlalu ‘Buta’ dengan Pasangan
Secara Islami memang dilarang ada hubungan dekat sebelum pernikahan. Karena itu menjadi wajar jika calon pasangan pengantin tidak begitu saling mengenal.
Karena itu, perlu ada jembatan atau pengkondisian agar proses saling kenal bisa soft landing atau dilalui dengan mulus. Ini bisa dilakukan sebelum hari H atau sesudah hari H pernikahan.
Yang bisa dilakukan sebelum hari H adalah ta’aruf atau perkenalan. Tentu tidak face to face atau empat mata. Tapi, didampingi oleh pihak lain yang bisa menjadi ‘wasit’.
Forum ta’aruf ini sebaiknya dilakukan dengan suasana yang khusus. Tidak di tempat umum, atau di keramaian. Silakan gali informasi tentang calon yang ingin diketahui. Tentu sebatas hal yang patut dan wajar.
Forum ini bisa dilakukan hanya sekali. Bisa juga lebih dari sekali, sesuai kebutuhan. Tapi jangan karena didorong oleh keinginan saling berpandang-pandangan. Dan dilakukan tetap dengan kehadiran ‘wasit’.
Nah, ada juga pengkondisian yang dilakukan sesudah hari H pernikahan. Proses ini sebaiknya dilakukan atas saling kesepahaman dan kesepakatan, agar tidak salah paham.
Misalnya, hari dan malam pengantin baru diisi dengan perkenalan. Tentu dengan suasana informal. Tidak seperti di tahap sebelum hari H, perkenalan di tahapan ini tidak perlu kehadiran ‘wasit’, karena sudah ‘halal’.
Perkenalan tidak selalu dilakukan di kamar atau ruangan. Bisa juga dilakukan dalam bentuk outdoor. Misalnya, berwisata, jalan santai di taman, atau lainnya.
Dua, Lakukan Penyesuaian Diri
Setelah saling kenal, tahap selanjutnya adalah melakukan penyesuaian diri. Yaitu, melakukan perubahan diri yang bisa terjadinya keseimbangan satu sama lain. Karena itu, sifat egois diupayakan semaksimal mungkin dikikis.
Misalnya, ketika mengetahui bahwa pasangan tidak suka ruangan yang berkipas angin, upayakan untuk ikut menyesuaikan diri meskipun hal itu tidak disukai. Contoh lain, ketika pasangan tidak suka makanan pedas, usahakan untuk tidak pamer dengan nikmatnya masakan pedas. Dan lainnya.
Penyesuaian diri ini dimaksudkan bisa terjadinya penyatuan diri. Karena suami istri merupakan dua fisik dengan satu jiwa.
Tiga, Munculkan Sikap Memberi daripada Menerima
Sikap ini terkesan sederhana. Tapi, bisa berdampak besar dalam menjalin hubungan langgeng suami istri.
Biasanya sikap ini dimunculkan dengan sikap ingin melayani. Bukan hanya dari istri untuk suami. Begitu pun dari suami untuk istri. Karena yang melayani lahir dari dua belah pihak. Dua arah bukan searah.
Di sinilah dibutuhkan kebiasaan untuk siap berkorban. Demi cinta dan kebaikan bersama, direlakan hal-hal yang secara subjektif menyenangkan atau memanjakan.
Empat, Tawakal Kepada Allah subhanahu wata’ala
Jangan lupakan untuk selalu menyertakan ‘kehadiran’ Allah dalam fase yang penting dalam hidup. Yaitu, taqarrub kepada Allah agar bisa dianugerahi sakinah, mawadah, dan rahmah.
Mungkin saja segala hal sudah disiapkan dengan baik, tapi jangan lupakan ridha Allah. Karena dari situlah ada capaian yang hanya bisa diraih dari ridha ini. Yaitu, keberkahan.
Misalnya, keberkahan hubungan seksual, keberkahan limpahan rezeki, keberkahan persaudaraan dua keluarga, dan keberkahan doa-doa dari para tamu undangan.
Jadi, masih dag dig dug di momen menjelang malam pengantin baru? Bersikaplah sewajarnya, karena hal itu bagian dari anugerah Allah yang cukup berkesan. [Mh]