MANUSIA kadang merasa kurang. Sibuk mencari yang di tangan orang, sementara abai dengan yang sudah digenggam.
Perilaku anak kecil bisa menjadi cerminan diri kita. Perhatikanlah ketika mereka sibuk dengan mainan masing-masing.
Ketika teman bermainnya memiliki mainan baru, ia pun beralih perhatian. Apa yang dimainkan temannya lebih menarik perhatiannya. Mainan yang sudah di tangan pun terlupakan begitu saja.
Itulah potret umum tentang kita. Betapa sulitnya mensyukuri yang sudah di tangan. Pesona dari sekitar selalu lebih menarik dari yang sudah di tangan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita dengan doa agar tidak hanyut dengan perilaku umumnya manusia itu.
Nabi berdoa, “Allahumma innii as’alukal hudaa wattuqa wal ‘afaaf wal ginaa. Ya Allah aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf dan gina.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan arti dari ‘afaaf dan gina. Menurutnya, ‘afaaf adalah menjauhkan dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan, al-ginaa adalah hati yang selalu merasa cukup dengan yang dimiliki dan tidak menginginkan apa yang ada di tangan orang lain.
Sifat dasar manusia yang negatif itu kadang bisa dominan dalam diri seorang muslim. Efeknya bisa berimbas ke orang-orang terdekat: keluarga dan teman dekat.
Misalnya, ada istilah ‘Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau dari yang di rumah sendiri.’
Istilah ini menunjukkan bahwa suami atau istri orang lain terlihat lebih menarik dari suami atau istri sendiri.
Tentu wajar saja itu terjadi. Karena yang terlihat dari istri atau suami orang lain adalah yang sudah dihias dan dipoles. Bukan ‘wajah’ aslinya, seperti kita melihat karakter asli istri atau suami kita tanpa polesan dan hiasan.
Sosok bahagia yang diperlihatkan orang lain juga tak jauh beda. Karena yang kita lihat adalah wajah bahagia yang sudah termodifikasi. Bukan wajah aslinya.
Padahal boleh jadi, istri atau suami kita jauh lebih baik dari istri atau suami orang lain dalam wujud karakter aslinya.
Begitu pun tentang bahagia. Boleh jadi, kita sebenarnya patut lebih bahagia dari orang yang kita anggap lebih bahagia. Karena bahagia bukan tentang materi, melainkan tentang keadaan hati.
Dalam desain Allah subhanahu wata’ala, tak ada yang buruk dari keadaan seorang mukmin: banyak materi atau miskin materi. Dua-duanya memiliki kebaikan pahala.
Ketika banyak materi, seorang mukmin bersyukur dan itu membawa pahala. Dan ketika miskin materi, seorang mukmin diajarkan untuk sabar. Dan itu juga membawa pahala.
Jadi, sibukkanlah diri dengan apa yang sudah Allah berikan. Berpuas-puaslah dengan itu. Bukan terjebak dalam istilah ‘Rumput tetangga rasanya lebih indah dari rumput di rumah sendiri’. [Mh]