Menjaga Sikap Takwa, Meski Sedang Marah
PERCAKAPAN yang menyejarah antara dua sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu.
Umar: “Wahai Ubay, apa makna takwa?”
Ubay balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”
Umar menjawab: “Tentu saja pernah.”
Ubay: “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?”
Umar: “Tentu saja aku akan berjalan hati-hati.”
Ubay: “Itulah hakikat takwa.”
Umar menyimpulkan: “Takwa adalah berjalan di hutan dengan hati-hati.”
Masya Allah, indah sekali percakapan dua sahabat utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Sarat ilmu dan manfaat. Kelak atsar sahabat ini menjadi salah satu rujukan bagi kaum muslimin di kemudian hari memaknai takwa.
Baca Juga: Adil lebih Dekat kepada Takwa
Menjaga Sikap Takwa, Meski Sedang Marah
Tidak ada percakapan yang sia-sia di antara para sahabat Nabi. Mereka sangat menjaga kehati-hatian karena khawatir Allah dan RasulNya tidak ridha terhadap apa yang mereka percakapkan dan lakukan.
Sikap takwa adalah terapi untuk semua penyakit fitnah. Thalaq bin Hubaib berkata:
اتقواها بالتقوى
“Hindarilah fitnah itu dengan takwa”
Seorang da’i (penyeru) yang selalu berusaha meningkatkan derajat ketakwaannya, tidak akan sempurna takwanya kecuali ketika sedang marah, maka marahnya semata-mata karena Allah.
Diceritakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak marah kecuali karena menyangkut masalah agama. Dia tidak marah karena dirinya dan tidak membela untuk dirinya sendiri. (Manaqib Ahmad, hlm 218).
Sifat mulia ini dapat terwujud dengan mengekang lidah, dengan cara tidak membiarkannya lepas tanpa ikatan. Selalu menimbang-nimbang setiap ucapan yang keluar darinya.
Ia tidak mengiringi ucapan dengan ejekan dan pelecehan.
Ia menyadari bahwa perbuatan itu harus dihindari karena khawatir orang-orang baik akan berhenti melakukan kebaikan.
Ia khawatir orang-orang mulia akan tersingkir karena ucapannya.
Yunus bin ‘Ubaid berkata:
يعرف ورع الرجل في كلا مه اذا تكلم
“Kewara’an (kehati-hatian) seseorang dapat diketahui melalui ucapannya, ketika ia sedang berbicara”.
Bahkan Umar bin Khattab ra mengingatkan tentang kepandaian bicara seseorang jangan dijadikan sandaran kekaguman.
لا يعجبنكم من الرجل طنطنته ، ولكنه من ادى الا مانة وكف عن اعراض الناس فهو الرجل
“Janganlah sekali-kali kamu kagum pada seseorang karena ‘celotehannya’, akan tetapi orang yang mampu menjalankan amanah dengan baik dan menahan diri dari menodai kehormatan orang lain. Itulah orang yang patut kamu kagumi.”
(Zuhd Ibnu Mubarak,hlm. 234)
Cahaya kehati-hatian (wara’) itu sangat banyak, sedangkan pemeliharaan lidah adalah salah satu cahaya itu.
Wallahu a’lam bisshawwab.
Semoga Allah Yang Maha Pengasih senantiasa menurunkan cahayaNya bagi orang-orang yang beriman.
Rujukan:
“Al-‘Awaiq“,Muhammad A arRasyid
“Riyaadhusshalihiin“, Imam Nawawi
Catatan Ustadzah Wiwi Wirianingsih di akun Facebooknya.