USIA tua merupakan kelaziman setiap manusia. Makin tua, rahmat Allah semakin besar.
Setiap orang yang berusia panjang akan melalui fase tua. Saat itulah fisik mulai melemah dan potensi penyakit kian beragam.
Mata yang dahulu normal, lambat laun menjadi rabun. Bahkan kurang jelas melihat dalam jarak dekat. Begitu pun dengan telinga yang tak lagi seperti muda. Pendengaran menjadi kurang peka.
Selain mata dan telinga, gigi pun ikutan melepas. Satu per satu, gigi-gigi tanggal. Kemampuan mengunyah pun tak lagi normal.
Persendian, otot, dan tulang menunjukkan kerentanan. Gerakan tak lagi selincah dulu. Bahkan tak lagi normal seperti di saat muda.
Inilah sebuah kemestian. Keadaan yang akan dilalui siapa pun yang dianugerahi usia panjang.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yasin: 68)
Namun, jangan melihat fenomena itu dari sisi negatifnya saja. Seolah masa tua sebagai ‘hukuman’ alamiah kehidupan.
Lihatlah hikmah di balik kealamiahan itu. Allah subhanahu wata’ala menggulirkan hidup manusia dalam grafik parabola. Dari nol, naik dan berada pada posisi puncak, kemudian turun dan akhirnya menyentuh angka nol lagi.
Hikmah aneka lemah di masa tua merupakan ungkapan sayang Allah agar manusia bersiap untuk menghadapi kematian. Dan kematian butuh bekal yang banyak.
Dengan lemah fisik itu, syahwat untuk memuaskan nafsu bisa teredusir secara alami. Fisik tak lagi mendukung nafsu untuk memuaskan syahwat perut. Fisik tak juga mendukung nafsu untuk memuaskan syahwat yang lain.
Kalau dorongan-dorongan fisik itu melemah, maka dorongan jiwa yang akhirnya menggantikan nafsu dari fisik itu. Jiwa menjadi begitu sensitif. Peka dengan isyarat dan tanda kekuasaan Allah subhanahu wata’ala.
Kecenderungan untuk kian mendekat dengan Allah kian besar. Hati seperti tak lagi memiliki banyak pilihan untuk gandrung dengan sesuatu, selain kesyahduan dekat dengan Allah subhanahu wata’ala.
Di usia tua yang akhirnya dilalui saat ini, sepatutnya disyukuri sebagai rahmat atau kasih sayang Allah.
Karena dengan begitulah, fisik seperti tak punya pilihan lain, selain untuk mempersiapkan bekal di hari kematian esok. Dan kematian merupakan pintu untuk kehidupan yang abadi. [Mh]