Imunitas itu daya tahan tubuh terhadap penyakit. Meski hidup di tengah kuman, virus, dan bakteri, imunitas menjadikanya kebal. Begitukah imunitas hati kita?
Pernahkah kita membayangkan punya rumah di dekat rel KRL Jabodetabek? Suara dan goncangan saat kereta lewat bisa terasa dari jarak seratus meter. Bayangkan jika rumah kita hanya lima meter dari rel.
Tapi, mereka yang kebetulan tinggal di kawasan dekat rel seperti itu, seperti tidak merasakan apa-apa. Rumah bagi mereka tetap nyaman dipakai untuk istirahat. Padahal kereta bisa lewat 5 sampai 10 menit sekali.
Begitu pun kehidupan para petugas kebersihan dan para pemulung. Buat umumnya orang, tempat pembuangan sampah sangat bau. Meskipun hanya melewati saja, aroma baunya tetap menyengat.
Namun, petugas dan pemulung seperti tidak merasakan apa-apa. Padahal kebanyakan mereka tidak mengenakan masker atau penutup wajah.
Mereka di lokasi bau itu bukan sesekali saja. Bukan juga hanya beberapa menit. Tapi setiap hari dan berjam-jam. Nyatanya, mereka bisa tertawa dan hidup normal seperti orang umumnya.
Itulah mungkin yang disebut imunitas. Sebuah keajaiban tubuh yang mampu beradaptasi pada keadaan yang tidak nyaman. Seperti ada hijab antara dirinya dengan bau, penyakit, dan lainnya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sungguh Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4)
Pertanyaannya, begitu jugakah dengan imunitas hati kita? Begitu banyak ‘kotoran’ dari perilaku buruk di sekitar kita. Ada yang mencuri, korupsi, berzina, dan perilaku dosa lainnya.
Kita tinggal dan berinteraksi dengan mereka. Dan kini, perbuatan dosa itu tidak lagi dianggap tabu. Sebagian orang pun menganggapnya biasa.
Saat ini, setiap kita pegang ponsel. Bukan hanya kita yang dewasa, anak-anak pun kini menganggap ponsel sebagai milik pribadi: one man, one ponsel, or more.
Silahkan periksa apa saja yang bisa dilihat dan dinikmati dari ponsel yang kita pegang setiap saat itu. Ada yang baik, tapi tidak sedikit pula yang kotor.
Sepertinya, hampir tidak mungkin kita mengisolasi diri tanpa ponsel. Begitu pun dengan anak-anak kita yang menjadikan hal itu sebagai salah satu media belajar.
Kini pertanyaan tadi diulang sekali lagi. Bisakah hati kita imun terhadap ‘kotoran’ yang ada dalam lingkungan kita, termasuk ponsel yang selalu kita pegang.
Bisakah kita seperti penghuni rumah yang dekat dengan rel kereta: berisik tapi tetap bisa istirahat. Bisakah kita seperti para petugas sampah dan pemulung: di lingkungan kotor tapi tetap sehat.
Yang sehat dan sakit dalam imunitas hati memang bukan fisik. Tapi keadaan iman dan Islam kita.
Pesan yang terbaik: jangan lari dari kenyataan hidup saat ini. Tapi, kuatkan imunitas hati agar iman dan Islam tetap sehat dan prima. [Mh]