TANGAN di atas lebih baik dari tangan di bawah. Itulah salah satu nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi dermawan. Di saat bersamaan, menghinakan mereka yang meminta-minta.
Dermawan atau meminta-minta itu bukan karena soal banyak sedikitnya harta. Tapi lebih karena mentalitas.
Para sahabat Nabi radhiyallahum ajma’in tidak semuanya kaya. Banyak di antara mereka yang miskin. Bahkan ada yang tidak memiliki rumah. Mereka tinggal di tenda-tenda di sekitar Masjid Nabawi.
Namun, kemiskinan tidak membuat mereka tergerak untuk meminta-minta. Selama masih ada tenaga, mereka bekerja apa saja. Yang penting halal dan berkah.
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memuji orang miskin dengan nilai infak yang besar. Meskipun jumlahnya kecil.
Artinya, jumlah infak secara standar umum memang terhitung kecil. Tapi karena yang menginfakkan orang miskin, nilai infaknya menjadi besar.
Kenapa para sahabat tetap gemar infak meskipun dalam keadaan pas-pasan? Lagi-lagi tentang mentalitas. Yaitu, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Ada riwayat hadis yang menunjukkan orang miskin iri hati dengan orang kaya. Tapi, yang mereka irikan bukan tentang harta. Melainkan tentang banyaknya pahala orang kaya. Zikirnya sama, ibadahnya sama, tapi jumlah sedekahnya berbeda.
Sempurnanya mentalitas para sahabat ini terus terwariskan ke anak cucu mereka. Sehingga di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, orang kaya kesulitan untuk membayar zakat ke fakir miskin.
Tentu bukan sekadar karena orang miskin di masa itu semakin sedikit. Tapi lebih karena meskipun miskin, mereka tidak mau menerima sedekah. Justru, mereka yang ingin memberi sedekah.
Menerima sedekah itu tidak memberikan pahala, meskipun dapat tambahan harta. Sementara yang mereka kejar bukan harta, tapi pahala. Itulah perbedaan mendasar mentalitas para sahabat dan tabi’in dibandingkan dengan sebagian umat saat ini.
Lebih parah lagi jika ‘cacat mental’ ini melembaga dalam kumpulan orang. Ada lembaga-lembaga sosial yang proyek utamanya bukan untuk memberi, tapi justru malah meminta-minta.
Selain tentang pahala, ‘tangan di atas’ itu mulia. Mulia di sisi Allah, juga di mata manusia. Mereka punya izzah atau wibawa dan harga diri.
Aslinya mentalitas orang Indonesia itu mengikuti para sahabat Nabi. Mereka tidak pernah mengajarkan apalagi mencontohkan meminta-minta.
Mereka berjuang melawan penjajah dengan harta milik sendiri, apa adanya. Mereka mendirikan negara juga dengan ‘tangan sendiri’, apa adanya. Tidak pernah meminta-minta ke negara lain.
Begitu pun dalam mendirikan masjid. Mereka membangun masjid dengan dana swadaya: dari mereka untuk mereka bersama. Tidak pernah menunggu dari pemerintah atau lembaga lain.
Inilah ciri khusus pendirian masjid di Indonesia yang sangat berbeda dengan di negara mana pun di dunia ini. Masjid dibangun di tanah sendiri yang diwakafkan, dan dengan biaya sendiri yang digotongroyongkan.
Mumpung masih muda, mumpung masih berlimpah tenaga; jangan hinakan diri dengan mentalitas ‘tangan di bawah’. Karena ‘tangan di atas’ jauh lebih mulia dari ‘yang di bawah’. [Mh]